Di bawah mega senja yang memeluk bumi.
Semeribit embusan angin menyejukan jiwa. Semua keindahan terpecah oleh teriakan dua insan yang bergulat dengan perasaan. Memaksakan kehendak masing-masing.
Air mata menggantikan peran senyum di wajah sang bidadari.
"Pokoknya kita putus!"
Kata biasa, tapi penuh makna, menyayat hati layaknya sebilah pisau, perih.
Ya ... teramat perih hati yang kurasa, hingga hiliran sungai deras mengalir ke muara.Â
Hancur berkeping-keping tersambar halilintar ucapannya.
"Mulai detik ini, jangan pernah ganggu hidupku lagi! Kita tempuh jalan kita masing-masing."
Kakiku bergetar, luluh tak berdaya. Aku tersungkur pada tumpukan pasir yang terhempas sang ombak. Benci aku harus memohon, tapi jiwa kecil dalam diriku membutuhkannya. Aku bersujud pada kakinya dan dia justru menendangku ke pesisiran.Â
Di manakah nalurinya? Kemanakah, cinta kasih yang dulu dia ukir dalam setiap rayuan. Sentuhan lembut yang menggoyahkan imanku?