Kembali kulayangkan senyuman sinis untuk menutupi pertahananku yang sudah porak-poranda di hadapan Johan. Berlagak baik-baik saja, menunjukkan kesombongan dengan sisa-sisa kebodohan yang kumiliki.
Johan memegang kedua bahuku. Memintaku untuk menatap wajahnya, namun aku malah menunduk. Aku takut terbaca olehnya bahwa apa yang telah terjadi padaku sebenarnya hal-hal yang selalu bertentangan, mengingkari hatiku sendiri. Itu siksaan yang kumiliki selama ini.
Johan melepaskan tangannya setelah berhasil melihat wajahku. Mataku berkaca-kaca, dan seluruh jiwa raga mendukungku untuk terpuruk bagai debu di hadapan Johan.
"Berhentilah." Johan membawaku pergi ke kebun tak terurus dekat rumahku. Aku diletakkan di tengah tanah lapang, menantang petir yang menyambar-nyambar.
Hujan masih deras. Jika hanya menggumam suaranya tidak akan terdengar. Begitupun ketika aku berusaha mendebat Johan. Kami berdua berhadapan di bawah hujan. Â Beruntungnya situasi saat itu aku bisa menegakkan kepalaku karena tatapan Johan terhalang oleh derasnya hujan. Namun hal itu tidak menguntungkan Natha yang suci, yang kini melemah seakan tidak mau bertarung lagi. Seolah telah melepas semua aji-aji dan kesaktiannya. Dirinya terus mengecil kemudian dari telapak kakinya mulai berubah menjadi asap transparan. Akankah Natha yang suci benar-benar pergi? Akankah Natha hanya akan ada yang hitam dan kotor? Jika hal demikian dibiarkan saja bisa saja aku tidak pernah ragu lagi dalam berbuat dosa, tidak ada lagi rasa menyesal.
Johan yang dulunya gentar mempertahankan aku seperti yang ia kenal pun berangsur diam. Kini ia hanya menonton tingkah sekaligus mengamati setiap detailku yang terlalu jujur padanya.
"Wanita jalang!" tegurnya, menghentikan semua argumenku. "Natha Jalang!" teriaknya keras, kemudian ia membisikkan tepat di telingaku, "Apakah akan benar-benar kukenal dirimu sebagai jalang?"
Aku menangis. Kini aku berlutut. Seluruh pertahanan jahatku sudah runtuh, diperparah oleh hujan mata panah sederes hujan air yang sedang membasahiku. Suara hujan yang bising, ternyata tak meredam suara tangisku. Tangisku nyatanya lebih keras, nyaring menggelisahkan siapapun yang mendengar.
Johan hanya menatapku. Ia sama sekali tidak membantuku agar sedikit tenang. Yang ia lakukan ialah berdiri mengintimidasiku, lebih tepatnya si Natha yang kotor agar benar-benar remuk menjadi debu, dilarutkan hujan yang sedang deras-derasnya, lalu hanyut terbawa air. Johan memastikan aku terus menyesal, merasa bersalah atas hal-hal yang telah terjadi. Dan memang benar, aku didampingi oleh orang yang tepat untuk menyesal.
"Terima kasih telah membantuku," kataku. Johan mengangguk perlahan.
"Aku akan berhenti melakukan semua itu."