Johan melirik. Ia mendorongku masuk ke rumah kemudian ia pergi begitu saja. Kupanggil berkali-kali namun tak dihiraukan barang sedikitpun. Yang aku takutkan ialah bahwa itu pertemuan terakhir kami, dimana kami sudah sama-sama dewasa.
Keesokan harinya, aku termenung di depan cermin. Mataku menatap tubuhku dari ujung ke ujung. Kutahu tak tahu mana bagian tubuhku yang luput dari sentuhan laki-laki di masa lalu. Memang tidak ada yang berkurang atau rusak berkarat. Memang setiap laki-laki yang menyentuhku tidak pernah meninggalkan goresan atau lebam. Akan tetapi setiap waktu bersama mereka kuhabiskan dengan kenikmatan yang berpura-pura, menyiksa diri sendiri yang ingin waktu segera berlalu.
Aku tersenyum menatap diriku yang kini menangis tersedu-sedu.
"Aku berhenti." Secara perlahan kutanggalkan sematan wanita jalang yang selama ini kusandang.
Aku sedih. Johan tak pernah menemuiku. Kabarnya selalu kunanti, kucari pun ia tak meninggalkan jejak atau tanda keberadaannya. Yang bisa kulakukan ialah mengingatnya, ia begitu baik dan santun.
Jika ada kesempatan untuk kami bertemu, aku ingin mengucapkan terima kasih padanya. Tidak lebih dari itu, tidak berani lebih dari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H