Tubuhku hanya satu, begitupun dengan hati dan jiwaku. Namun tidak demikian dengan luka yang kumiliki, bertebaran dimana-mana entah itu berkeping-keping hingga berkawah-kawah sembilu dan perih. Bukan berarti aku manusia yang kerap disakiti atau dicemooh, melainkan akulah tersangka utama dalam menyakiti diri sendiri. Aku menggores luka di kulitku sendiri, menampar pipi sendiri, memukul badan dengan kepalan keras, memasang bola besi di kedua pergelangan kaki, merantai sekujur badanku dengan rantai besi, dan seluruh siksaan jiwa raga lainnya.
Setiap menyudahi apapun, aku tidak mau melihat ke belakang, bahkan sedetik sebelumnya. Kuanggap sudah usai, lalu kumulai lembaran baru. Dan, lagi? Perbuatan kotor itu kuulangi sekalipun jiwaku berteriak memohon agar aku berhenti.
Khilaf!
Aku mengatakan itu berkali-kali dengan menahan titik-titik kecil yang secara tiba-tiba memicu mataku untuk berkaca-kaca. Situasi itulah yang kubenci. Dua sisi diriku berperang memperebutkan satu persatu keputusanku untuk bertindak. Selalu diawali dengan peperangan, meski akhirnya aku terus melakukan perbuatan dosa demi dosa. Mengapa si Natha yang suci tetap melawan si Natha yang penuh dosa?
Enggan, aku kesal pada diriku sendiri yang kian lama makin liar dalam berbuat dosa. Padahal sebenarnya tahu bahwa dosalah yang terus menjauhkan dari kebahagiaanku.
Kali ini si Natha yang suci kumenangkan. Malam ini aku duduk sendirian di caf baru. Mengingkari semua janji yang sebelumnya sudah kuiyakan, menolak semua ajakan. Kupikir dengan melarikan diri dari tanggung jawab sekaligus hujan deras begini akan membuatku sedikit santai, karena kebanyakan orang tidak mau bepergian selama hujan. Orang-orang akan terjebak, takut basah.
"Gila!" gerutuku melihat pesan pop up dari Johan, teman SMP tiba-tiba saja kembali dari perantauannya di Sulawesi. Aku melihatmu di Rose caf. Jangan pergi dulu, Din. Aku ke sana sebentar lagi.
Dan kesalnya, tak lama kemudian Johan datang berikut dengan senyumnya. Ia mendekati mejaku dengan senandung santai seakan mengajakku untuk bersikap serupa. Ia meletakkan selendang sutra ke beberapa bagian tubuhku yang terbuka. Sekujur tubuhku bergetar ketakutan saat auraku bergesekan dengan Johan. Pertahanan jahatku meretak memintaku untuk mengingkari dari apa yang sebenarnya terjadi.
"Mengapa kamu memaksakan diri untuk tersenyum seperti itu?" tanya Johan.
Tatapan matanya selalu kuhindari sejak dulu. Tatapannya seperti busur panah bersayap yang lihai mencari titik kelemahanku. Belum lagi iris matanya yang seakan menjadi kunci yang dapat membuka kode-kode rahasiaku. Aku seakan menjadi transparan di depannya, manusia yang tidak bisa berbohong. Nampaklah seluruh dosa dan jejak-jejak hidupku.
Aku selalu malu untuk bertemu. Setelah mendengar ia pulang, selalu menghindari apapun itu yang memungkinkan aku bertemu dengannya. Aku malu dan tidak mampu menampakkan diriku. Terlalu banyak hal yang telah terjadi padaku, terlalu banyak hal. Beragam dosa dan kehidupan gelap yang telah melekat padaku.