Marini merantau ke Jakarta begitu nifasnya telah berhenti. Ia pergi dengan merana dan nelangsa yang membeban di bahunya. Meski telah jauh dari rumah nyatanya derita itu tetap ia sandang dimanapun ia berada, bahkan hingga saat ini.
"Kamu tidak pulang?" tanyaku.
Marini terdiam lalu menatapku seolah mengatakan jika pertanyaanku sangat aneh. Aku segera menyadari jika para perantau seperti kami tidak mungkin pulang kampung tahun ini. Lagi-lagi aku pun membatin kesal pada virus itu.
"Aku mendengar kabar jika Slamet mencariku, mencari ibu kandungnya. Ia telah mengetahui akulah ibunya. Kami berjanji akan bertemu ketika aku pulang nanti saat lebaran." Marini terlihat sangat senang hingga matanya berkaca-kaca. "Kau tahu, Anna. Mantan suamiku rupanya mau beriktikad baik padaku. Ia membelikan tiket pulang. Tentu itu sangat membantu karena aku di sini hanya penjaga toko yang sudah diliburkan. Jadi uang yang kumiliki akan kubelikan hadiah untuk Slamet. Aku tidak tahu seperti apa anakku sekarang namun aku hanya mampu memberinya bantal kecil berbentuk bola. Laki-laki tentu suka bola."
Leherku tercekat. Kini aku tidak dapat mengangkat kepalaku lebih tegak.
"Apa kamu punya fotonya?"
Marini menggeleng. Malang sekali. Ia menunjukkan hp jadulnya dan aku tidak dapat memberi respon lebih jauh. "Tapi aku ada fotonya. Baru saja tadi siang surat dari ibuku tiba. Ibu melampirkan beberapa foto Slamet. Kamu mau lihat, Na?"
Aku mengangguk. Kami berjalan menuju kamarnya. Marini sangat jorok. Banyak kertas dan pakaian berserakan di sana-sini. Rupanya Marini pandai menggambar. Aku mendecak kagum melihat gambarnya yang ditempel di dinding dan beberapa berserakan begitu saja.
"Sebentar. Tunggu sebentar. Hhehee...." Marini tertawa. "Aku ternyata ceroboh dan lupa dimana  meletakkan surat itu. Yang pasti surat itu berisi foto dan tiketku pulang."
Aku mengangguk. Itu adalah kesempatan terbaikku untuk melihat gambarnya lebih seksama.
"Anna, bisakah membantuku mencarinya?"