Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kultur Platform Media Sosial

25 Februari 2020   05:46 Diperbarui: 25 Februari 2020   06:32 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tidak Semua Tempat Dapat Ditanami Pohon yang Sama

Bermedia sosial sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Hanya dengan berada di depan monitor sudah dapat diperoleh berbagai informasi dan hiburan mulai dari berita terbaru, berbisnis hingga sekedar guyonan konyol. 

Pengguna media sosial semakin dimudahkan dengan berbagai fitur menarik yang dihadirkan dan selalu diperbarui sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pengguna. Oleh karena itu media sosial yang awalnya hanya sebagai media interaksi kini sudah digunakan untuk beragam tujuan.

Terdapat beragam platform media sosial yang dapat dipilih. Setiap platform memiliki keunggulan serta keunikan yang menyebabkan kecenderungan orang untuk memilih salah satu media sosial sebagai akun yang sering digunakan. 

Dengan usia platform yang sudah cukup lama dan jumlah penggunanya yang banyak maka Facebook adalah patform yang paling mudah untuk mencari teman. Sering kali orang menemukan sahabat lama melalui Facebook. Instagram ialah platform pengunggah gambar dan video. Patform ini menonjolkan visual sebagai konten. 

Tidak heran jika orang mengabadikan momen dengan fotografi terbaik di Instagram. Bisnis di platform Instagram pun sangat berkembang karena pelaku bisnis dapat menampilkan produk yang secara visual yang apik untuk menarik perhatian atau visually attractive. Twitter, media sosial berlogo burung ini cenderung lebih dialogis karena menonjolkan unsur teks sebagai komunikasi utama. 

Tidak sulit untuk menemukan kicauan dan diskusi menarik ketika bermain Twitter. Selain itu Twitter dikenal sebagai media dengan informasi yang paling up to date. LinkedIn memang masih berada di bawah managemen Facebook dan Instagram, akan tetapi LinkedIn lebih menonjolkan pada portofolio akun pengguna seperti data pengalaman kerja, skill, dan koneksi. Konten yang umum dibagikan di platform ini berkaitan dengan dunia kerja, konten inspiratif dan motivasi.

Semua platform membuka akses yang sama kepada semua orang sehingga memungkinkan seorang individu memiliki akun di setiap platform dan menjadi pengguna aktif. Untuk mendapat berita terbaru mungkin lebih condong kepada Twitter, jika ingin berbelanja daring lebih senang melalui Instagram atau jika ingin menarik perhatian HR dan mencari koneksi kerja lebih mudah dilakukan melalui LinkedIn. Hal itu terkait dengan kultur platform yang dibentuk oleh para pengguna aktif serta dipengaruhi oleh fitur yang disediakan oleh platform.

Setiap platform memiliki kultur yang unik. Keunikan tersebut dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan, topik yang biasa dibahas serta konten yang dibagikan. Jika Twitter dikenal sebagai warganya yang suka rebahan dan hal-hal receh, Instagram sering dikaitkan dengan pencitraan maksimal. 

Di  Facebook dan Twitter akan dengan mudah ditemukan cerita tentang keseharian misalnya terkena macet, putus dengan pacar, lupa sarapan, mendapat nilai jelek hingga bos yang menyebalkan. Sedangkan di platform lain hal demikian hampir tidak pernah terlihat. 

Namun beberapa waktu terakhir sering dapat ditemukan beberapa orang mengeluh tentang perubahan suasana platform yang disebabkan oleh pendatang baru yang masih membawa kebiasaan lama dari platform lain.

Salah satunya dilontarkan oleh Estie Rand lewat akun LinkedIn-nya pada 24 Januari 2020 . Ia mengatakan bahwa LinkedIn sangat berbeda dengan Instagram, Facebook dan Twitter. Ia menghimbau pada para pendatang baru agar tidak  membawa kebiasaan buruk dari platform-platform terdahulu ketika menggunakan LinkedIn. 

LinkedIn bukan versi terbaru dari Facebook yang biasa digunakan untuk mencurahkan kekesalan atau menceritakan kegiatan harian. Jika ingin curhat, LinkedIn bukan tempat yang tepat. Estie terang-terangan merindukan suasana LinkedIn yang dulu dimana LinkedIn benar-benar sebagai platform tempat berbagi hal-hal positif dan inspiratif yang membangun.

Upaya untuk mengatasi membawa kebiasaan lama dari platform lain di antaranya dengan menerapkan nilai-nilai ketika berinteraksi di dunia nyata. Bermain media sosial di suatu platform dapat diumpamakan dengan bergabung dengan suatu komunitas tertentu. Ketika bergabung dengan komunitas budaya maka harus komitmen dengan aktivitas dan peraturan yang ada di komunitas tersebut. 

Contoh yang lebih mudah ialah perbedaan sikap ketika di rumah, di kampus dan di kantor. Tentu ada sesuatu yang biasa dilakukan di rumah namun tidak dapat dilakukan di kantor, begitupun sebaliknya.

Sebenarnya setiap individu bebas dalam menggunakan akun media sosialnya. Tidak ada yang melarang atau mengatur secara rinci bagaimana sepatutnya seseorang dalam menggunakan suatu platform media sosial. 

Namun alangkah lebih baik jika mampu menempatkan diri sesuai dengan fungsi dari masing-masing platform agar menjaga kenyaman dari sesama pengguna media sosial.

Jika semua platform memiliki fungsi yang sama, memakai satu platform saja mungkin sudah cukup bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun