"Satu! Dua! Tiga!" Pak Elang pun akhirnya terbang tinggi.Â
Noya dan keluarganya melambaikan tangan. Sedangkan Akil tidak melambaikan tangan karena takut jika salah satu pegangan tangannya dilepas, Akil akan terjatuh.Â
"Bagaimana, Akil?" tanya Pak Elang yang merasakan detak jantung Akil sangat kencang.
"Aku masih takut, Paman. Aku tidak berani melihat ke bawah!" jawab Akil yang ternyata masih memejamkan mata.Â
"Bukalah matamu perlahan-lahan, Akil. Jangan langsung lihat ke bawah. Tapi lihatlah lurus ke depan. Lalu ke samping kanan dan kiri. Setelah kamu merasa biasa, baru lihat ke bawah!" kata Pak Elang kepada Akil yang masih ketakutan.Â
"Baiklah Paman! Tapi aku tidak berani langsung membuka mata!"Â
"Semampumu dulu, Akil!"Â
Lalu Pak Elang pun terbang tinggi mengitari padang ilalang. Akil belum berani melihat ke bawah. Kemudian, Pak Elang pun mendarat di atas tanggul dekat sungai yang airnya mengalir jernih.Â
"Akil, bukalah matamu! Kita sudah mendarat!" kata Pak Elang setelah pendaratannya berhasil dengan sempurna.Â
Akil lalu membuka mata perlahan-lahan. Meyakinkan jika Pak Elang sudah benar-benar mendarat. Lalu, Akil turun dari punggung Pak Elang dan kemudian menggeliat merileks-kan tubuhnya yang kaku karena ketakutan.Â
"Paman, ini di mana?" tanya Akil yang belum mengenal tempat mendaratnya.Â