"Kalau boleh memilih, aku ingin selalu yang terbaik."
"Semuanya pasti akan memilih yang terbaik, Nak! Tapi roda kehidupan itu berputar. Ini sudah malam, mati tidur. Besok pagi supaya kita bangun tidak terlambat," Karen pun berusaha tegar meskipun sebenarnya juga sedih seperti Kiree. Tapi Karen berusaha menutupi kesedihannya tersebut supaya Kiree tetap kuat dan tidak rapuh.
Sesaat setelah Karen dan Kiree tertidur lelap, tiba-tiba suara gemuruh dan berisik terdengan. Daun rumah tinggal bergoncang keras seperti gempa. Karen dan Kiree terbangun. Lalu Kiree mencoba me gintip keluar, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kiree lega. Karena bukan hal berbahaya seperti yang dialami di istana sarang sebelumnya. Lalu Kiree keluar dan tersenyum ramah.
"Paman kelelawar. Aku kira siapa. Aku kaget," kata Kiree yang membuat Paman Kelelawar terkejut.
"Maaf Kiree. Aku sedang banyak rezeki hari ini. Sangat cukup untuk kami keluarga," jawab Paman Kelelawar dengan gembira.
"Aku ikut senang," kata Kiree kemudian.
"Kiree, kenapa kamu malam-malam di sini? Nanti Ibumu akan kebingungan mencarimu," tanya Paman Kelelawar kemudian.
Kiree tertunduk lesu. Kesedihan nampak sekali di wajahnya yang tersorot sinar rembulan.
"Kiree, kamu kenapa?" Tanya Paman Kelelawar kemudian.
"Kami sudah tidak punya istana sarang lagi. Sudah rusak oleh api dari manusia. Adik-adikku yang masih larva pun aku tidak tahu keberadaannya sekarang. Dan Ibuku terkena luka bakar di tangannya," jawab Kiree dengan jujur.
"Aku ikut sedih, Kiree. Memang keberadaan kita kadang tidak diharapkan oleh manusia. Ada yang memburu karena untuk dikonsumsi dan ada pula yang memburu karena kita dianggap berbahaya bagi manusia," kata Paman Kelelawar yang iba dan simpati terhadap keluarga Kiree.