Mohon tunggu...
Lina Hasna
Lina Hasna Mohon Tunggu... -

hakuna matata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Firaun Picisan*

29 September 2013   20:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:13 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

500 meter ke utara dari lahan gosong itu masih berdiri tegak sang ayah dan anaknya. Nasib mereka jauh lebih beruntung daripada teman – temanya yang telah lebih dahulu meninggalkan mereka. Entah beruntung atau sial yang tertunda. Keberuntungan adalah perkara nasib yang telah digariskan oleh Tuhan dan keberuntungan itu saat ini menyisakan nafas yang memiliki harap. Paling tidak nafas kehidupan itu masih ada walaupun terkadang tiba – tiba tersengal ketika gergaji mesin muncul untuk siap mencacah dan menjadikannya balok – balok telanjang. Barangkali juga sekumpulan manusia lain yang siap dengan minyak tanah dan korek api. Manusia kere yang tak punya logika. Manusia kere yang melakukannya atas nama perintah dari manusia lain yang katanya adalah penguasa. Entahlah, Ada beberapa penguasa di dunia ini?

Masih tersisa asap hitam yang mengepul diantara batang – batang dan ranting – ranting yang telah melegam. Tak adalagi zamrud hijau yang merangkai dihutan yang subur nan damai. Daun – daun yang berserakan menjelma menjadi abu yang bertebaran. Kehidupan hutan menjelma menjadi lahan yang mulai teraleniasikan. Rumah kita telah mati. Mati dalam kesedihan yang memilukan.

“Ya Allah aku mohon agar tindakan itu tidak terulang lagi. Kami sudah cukup menderita dengan udara dan asap yang menyuplai banyaknya karbondioksida. Bagi kami akan sangat terhormat jika kami mati dalam kegersangan yang meradang daripada mati karena dimutilasi atau dibumihanguskan.”

Sang anak mengharap menengadah dalam desau angin yang menderu haru. Sebatang pinus yang masih memiliki harap untuk tetap berdiri kokoh meski kehidupan mulai berkarat.

***

Indonesia adalah miniatur surga. Kata almarhum Kakek sebelum termutilasi sebulan lalu. Bagiku Kakek terlau melebih – lebihkan. Bukankah surga itu adalah tempat dimana kita bisa menjumpai bidadari – bidadari yang cantik? Hal yang sangat paradoks jika membandingkan dengan makhluk keji nan munafik penghuni Negara ini. Aku tak mungkin setuju dengan perkataan Kakek. Kata – kata itu sudah kadaluarsa. Sebutan miniatur surga telah expired. Yang ada malah miniatur neraka, ya… tepat sekali karena disana hanya bisa dijumpai api dan penderitaan.

“Firaun itu bernama manusia, ataukah manusia telah menjelma menjadi seorang Fir’aun, mereka salah menafsirkan wahyu Tuhan yang mengatakan bahwa manusia adalah khalifah di bumi dan mereka membiaskan wahyu itu. Mereka membiaskan arti khalifah dengan peyorasi yang paling superlatif. Mereka dengan entengnya menganggap bahwa makhluk – makhluk lainnya hanyalah fasilitas yang dapat dengan mudah mereka hancurkan. Mereka lupa bahwa tumbuhan juga makhluk hidup yang perlu di lindungi dan dilestarikan bukan di babat atau dibumihanguskan.” Kata sang ayah kepada anaknya.

“Iya ayah, mereka memang sangat menakutkan. Dan berhasil membuatku takut jika nanti nasib kita akan sama seperti sahabat – sahabatku itu.”

“Entahlah nak, seandainya saja kita memiliki kaki pasti akan kita gunakan untuk berlari jauh meninggalkan negeri ini dan mencari negeri lain yang lebih baik dan lebih aman.”

“Apakah mereka akan datang lagi ayah?”

“Kemungkinan itu pasti ada. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah dan berserah diri kepada Allah. Semoga saja misi mereka berhenti sampai disini.”

“Semoga saja ayah!”

***

Malam ini bulan sumringah. Dia tak malu – malu memperlihatkan bentuk lekuk bulatannya. Cahayanya benderang, simbol keagungan Tuhan. Bintang pun tak mau kalah. Kerlipnya membuat langit seperti lampu disko. Barangkali cahaya yang benderang dan kerlip bintang merupakan cara mereka bersembahyang , ritual ucapan terimakasih untuk Dia Sang Penyayang.

“Malam ini sangat indah ayah, aku harap mereka urung menjalankan misinya membabati kita.”

“Iya nak, aku harap manusia – manusia itu sibuk menjaga anak – anak mereka yang sedang bermain dengan nyanyian Padang Bulan. Lagu yang dulu sering ku dengar karena menggema di hutan.

“Bukannya mereka sudah lupa dengan hal – hal kuno semacam itu ayah? Mereka mendapat banyak keuntungan dengan mencacah ataupun memberangus sahabat kita. Pastilah mereka orang – orang berduit dan anak – anak mereka pasti lebih memilih bermain ditempat hiburan yang mahal.”

“Benar sekali anakku, manusia itu mengambil banyak keuntungan dari sahabat kita. Namun apa yang sahabat kita dapat? Tubuh yang terpotong – potong dan batang yang gosong terpanggang. Mereka sama sekali tidak pantas menjadi khalifah di bumi ini.”

“Tunggu sebentar ayah, kau dengar langkah manusia yang sepertinya menuju kearah kita?”

“Sial, mereka datang nak!”

“Ya Allah engkau adalah zat yang maha adil. Dan aku yakin keadilan itu berlaku juga untuk kami kan? Jika iya, aku dan ayahku atas nama makhluk hidup yang menjadi korban keganasan manusia mohon agar engkau memberikan teguran untuk tidak menyakiti sahabatku yang lain dan demi kepentingan bumi ini pula. Ya Allah, sungguh aku mohon.”

Sang ayah hanya bisa mengamini.

***

Sang ayah dan anak ketakutan. Sementara manusia – manusia penebang itu bimbang.

“Kalau boleh jujur yo mas War, aku sebenarnya tak sanggup kerja ini lagi. Aku tak tega melihat tumbuhan yang tak berdosa tercacah hingga sedemikian rupa. Namun apalah dayaku? Aku punya lima anak, kang!”

“Halah, yo sama kalau begitu Din. Kalau aku anak sih baru satu tapi istri matrenya minta ampun. Ampunnya minta – minta.”

“Aku pernah bilang sama bos untuk berhenti tapi bos malah murka. Dia memberiku ancaman dan tak akan memberiku gaji ataupun pesangon sepeserpun. Dasar bos. Nggak punya hati.”

“Ah… sudahlah Din, terima saja. Kerjakan saja apa yang sekarang dihadapan kita sekarang. Aku sih nggak pengen neko – neko. Mencari kerja sekarang juga bukan hal yang mudah.”

Penebang pohon itu memulai misinya. Ada seorang yang sudah siap menggotong gergaji mesin, ada yang membawa kampak dan ada yang cuma diam tanpa melakukan apa – apa. Mungkin dia yang mereka sebut sebagai bos. Bos yang nggak punya hati.

Gergaji mesin itu mendekatkan gigir besi yang tajam dan berputar sangat amat cepat itu ke tubuh ayah. Beberapa waktu lalu gigir itu mulai menyentuh kulit ayah. Lapisan epidermas yang begitu tebal saja telah teriris hanya dengan sepersekian detik. Terlihat serpihan yang memburai dari lapisan itu. Serpihan yang berisi sari pati segala jenis makanan yang dengan susah payah ayah kumpulkan. Dengan muncratnya sari pati yang telah menjadi sebegitu halus dalam serpihan, kehidupan yang ayah jaga selama berpuluh – puluh tahun berakhir dengan sia – sia. Dengan sekejap pula mesin itu menggilas tubuhnya dan menjadikan sang ayah tumbang. Diantara mesin yang menderu terdengar jeritan yang memilukan. Jeritan dari anak yang menyaksikan sang ayah mati dengan serpihan – serpihan dari perutnya yang memburai dan berceceran di tanah. Aku yakin pasti ayah merasakan kesakitan yang amat sangat dan sebentar lagi rasa sakit yang tak berperi akan aku alami. Jeritan itu menyimpan dendam yang sangat luar biasa terhadap makhluk hidup lain bernama manusia yang telah melakukan penodaan wahyu dengan bertindak lalim dan menyalahgunakan arti khalifah. Jeritan itu semakin samar karena sang anak kini tiba giliran. Dan jeritan itu hilang dalam keremangan malam yang tak pernah terbayangkan.

Bulan meredup, bintang meriang. Cahayanya tak lagi bertemaram. Mereka prihatin akan nasib makhluk hidup berjenis tumbuhan yang menjadi korban kekejaman makhluk hidup lain bernama manusia dan menganggap dirinya sebagai khalifah. Dalam kebenciannya itu Bulan dan bintang mengumpat. Entah apa yang mereka katakan. Namun setelah mengumpat itu mereka pamit dan berganti fajar.

***

Hujan sedari pagi tadi tak jua usai. Semakin berganti jam semakin membadai. Guyurannya kini tak semanis hujan kemarin sore yang hanya menggenangi selokan dan jalan – jalan berlubang. Hujan kali ini bukan saja merendam rumah – rumah bertingkat dan meneggelamkan harta benda. Hujan telah membunuh segala aktifitas di kota. Manusia panik. Segala apa yang mereka miliki hanyut, hilang entah kemana. Banyak pula diantara mereka yang mati tenggelam. Ibu kota menjelma menjadi lautan yang luas. Di suatu harian yang masih bisa terbit tertuliskan “Banjir bandang menyapa Kota.”

Di suatu hutan lain sebatang anak pinus bertanya kepada ayahnya.

“Apakah fir’aun telah mati karena tenggelam bersama banjir, ayah?”

“Entahlah nak, Barangkali masih ada beberapa firaun yang beranak – pinak.”

***

* Judul ini terinspirasi oleh Puisi Emha Ainun Nadjib dengan judul yang sama dalam Trilogi “Tarian Rembulan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun