***
Sang ayah dan anak ketakutan. Sementara manusia – manusia penebang itu bimbang.
“Kalau boleh jujur yo mas War, aku sebenarnya tak sanggup kerja ini lagi. Aku tak tega melihat tumbuhan yang tak berdosa tercacah hingga sedemikian rupa. Namun apalah dayaku? Aku punya lima anak, kang!”
“Halah, yo sama kalau begitu Din. Kalau aku anak sih baru satu tapi istri matrenya minta ampun. Ampunnya minta – minta.”
“Aku pernah bilang sama bos untuk berhenti tapi bos malah murka. Dia memberiku ancaman dan tak akan memberiku gaji ataupun pesangon sepeserpun. Dasar bos. Nggak punya hati.”
“Ah… sudahlah Din, terima saja. Kerjakan saja apa yang sekarang dihadapan kita sekarang. Aku sih nggak pengen neko – neko. Mencari kerja sekarang juga bukan hal yang mudah.”
Penebang pohon itu memulai misinya. Ada seorang yang sudah siap menggotong gergaji mesin, ada yang membawa kampak dan ada yang cuma diam tanpa melakukan apa – apa. Mungkin dia yang mereka sebut sebagai bos. Bos yang nggak punya hati.
Gergaji mesin itu mendekatkan gigir besi yang tajam dan berputar sangat amat cepat itu ke tubuh ayah. Beberapa waktu lalu gigir itu mulai menyentuh kulit ayah. Lapisan epidermas yang begitu tebal saja telah teriris hanya dengan sepersekian detik. Terlihat serpihan yang memburai dari lapisan itu. Serpihan yang berisi sari pati segala jenis makanan yang dengan susah payah ayah kumpulkan. Dengan muncratnya sari pati yang telah menjadi sebegitu halus dalam serpihan, kehidupan yang ayah jaga selama berpuluh – puluh tahun berakhir dengan sia – sia. Dengan sekejap pula mesin itu menggilas tubuhnya dan menjadikan sang ayah tumbang. Diantara mesin yang menderu terdengar jeritan yang memilukan. Jeritan dari anak yang menyaksikan sang ayah mati dengan serpihan – serpihan dari perutnya yang memburai dan berceceran di tanah. Aku yakin pasti ayah merasakan kesakitan yang amat sangat dan sebentar lagi rasa sakit yang tak berperi akan aku alami. Jeritan itu menyimpan dendam yang sangat luar biasa terhadap makhluk hidup lain bernama manusia yang telah melakukan penodaan wahyu dengan bertindak lalim dan menyalahgunakan arti khalifah. Jeritan itu semakin samar karena sang anak kini tiba giliran. Dan jeritan itu hilang dalam keremangan malam yang tak pernah terbayangkan.
Bulan meredup, bintang meriang. Cahayanya tak lagi bertemaram. Mereka prihatin akan nasib makhluk hidup berjenis tumbuhan yang menjadi korban kekejaman makhluk hidup lain bernama manusia dan menganggap dirinya sebagai khalifah. Dalam kebenciannya itu Bulan dan bintang mengumpat. Entah apa yang mereka katakan. Namun setelah mengumpat itu mereka pamit dan berganti fajar.
***
Hujan sedari pagi tadi tak jua usai. Semakin berganti jam semakin membadai. Guyurannya kini tak semanis hujan kemarin sore yang hanya menggenangi selokan dan jalan – jalan berlubang. Hujan kali ini bukan saja merendam rumah – rumah bertingkat dan meneggelamkan harta benda. Hujan telah membunuh segala aktifitas di kota. Manusia panik. Segala apa yang mereka miliki hanyut, hilang entah kemana. Banyak pula diantara mereka yang mati tenggelam. Ibu kota menjelma menjadi lautan yang luas. Di suatu harian yang masih bisa terbit tertuliskan “Banjir bandang menyapa Kota.”