“Semoga saja ayah!”
***
Malam ini bulan sumringah. Dia tak malu – malu memperlihatkan bentuk lekuk bulatannya. Cahayanya benderang, simbol keagungan Tuhan. Bintang pun tak mau kalah. Kerlipnya membuat langit seperti lampu disko. Barangkali cahaya yang benderang dan kerlip bintang merupakan cara mereka bersembahyang , ritual ucapan terimakasih untuk Dia Sang Penyayang.
“Malam ini sangat indah ayah, aku harap mereka urung menjalankan misinya membabati kita.”
“Iya nak, aku harap manusia – manusia itu sibuk menjaga anak – anak mereka yang sedang bermain dengan nyanyian Padang Bulan. Lagu yang dulu sering ku dengar karena menggema di hutan.
“Bukannya mereka sudah lupa dengan hal – hal kuno semacam itu ayah? Mereka mendapat banyak keuntungan dengan mencacah ataupun memberangus sahabat kita. Pastilah mereka orang – orang berduit dan anak – anak mereka pasti lebih memilih bermain ditempat hiburan yang mahal.”
“Benar sekali anakku, manusia itu mengambil banyak keuntungan dari sahabat kita. Namun apa yang sahabat kita dapat? Tubuh yang terpotong – potong dan batang yang gosong terpanggang. Mereka sama sekali tidak pantas menjadi khalifah di bumi ini.”
“Tunggu sebentar ayah, kau dengar langkah manusia yang sepertinya menuju kearah kita?”
“Sial, mereka datang nak!”
“Ya Allah engkau adalah zat yang maha adil. Dan aku yakin keadilan itu berlaku juga untuk kami kan? Jika iya, aku dan ayahku atas nama makhluk hidup yang menjadi korban keganasan manusia mohon agar engkau memberikan teguran untuk tidak menyakiti sahabatku yang lain dan demi kepentingan bumi ini pula. Ya Allah, sungguh aku mohon.”
Sang ayah hanya bisa mengamini.