Luhut Panjaitan menyampaikan banyak hal dalam pidatonya yang berdurasi sekitar setengah jam itu. Kali ini saya mau bahas satu hal berkaitan dengan bahasa. Sekali waktu, Luhut meminta seorang cucunya berdoa. Si cucu bertanya kepada Luhut, "Opung, May I pay in English?"Â
Dalam pidato itu Luhut sedang membicarakan fakta bahwa bahkan di Tarutung, sudah banyak gereja HKBP yang mempergunakan Bahasa Indonesia pada ibadah minggu. Dalam pidato itu Luhut memang pakai Bahasa Indonesia karena yang hadir di sana ada juga yang bukan Batak, jadi, itu wajar. Nampaknya, yang menjadi keprihatinan Luhut adalah menipisnya jiwa kebatakan dalam diri orang-orang Batak sebab mengapa HKBP sebuah gereja yang memakai nama Batak dalam pengidentifikasiannya justru melakukan ibadah minggu dalam Bahasa Indonesia padahal mereka berada di Tanah Batak, bukan di Jakarta atau Surabaya atau Kalimantan atau New York. Di Amerika banyak orang Batak, dan mereka di sana dirikan HKBP juga, berafiliasi dalam hal-hal tertentu dengan Evangelical Lutheran Church in America (ELCA), sebagai sesama Lutheran.Â
Menurut Luhut, cucunya lebih bisa merasakan doa yang dia lakoni kalau dia berbahasa Inggris walaupun sang cucu tahu berbahasa Indonesia. Luhut tidak menyebutkan apakah cucunya itu bisa berbahasa Batak. Harusnya itu tanggung jawabnya juga untuk memastikan bahwa cucu-cucunya bisa berbahasa Batak, paling tidak Bahasa Batak Toba. Kalau tidak bisa, itu mungkin salah satu kekurangan Luhut sebagai seorang jenderal? Aku berharap, paling tidak, cucu-cucunya bisalah berkomunikasi dalam Bahasa Batak Toba.Â
Bagaimana rasanya menjadi orang Batak tetapi tidak tahu atau tidak bisa Bahasa Batak? Aku tidak tahu bagaimana rasanya itu. Mungkin samalah atau bahkan lebih parah menjadi orang Indonesia tetapi tidak tahu Bahasa Indonesia?Â
Apakah memang sudah menjadi hal yang tidak lagi terhindarkan bahwa generasi muda Batak yang lahir dan besar di kota-kota besar Indonesia atau luar Indonesia tidak lagi fasih berbahasa Batak?Â
Para sepupuku yang sudah lahir dan besar di Jakarta dan Surabaya, hampir semuanya memang nggak fasih berbahasa Batak. Mereka ngerti, sebagian. Ngomong? Hancur! Lucu. Benar-benar lucu dan juga menyedihkan sebab sebagian para sepupuku ini, kusaksikan sendiri ketika aku tinggal bersama opung di Samosir, mereka pake 'Bahasa Tarzan' kalau berbicara dengan Opung Boru dan Opung Doli. Opung Doli kami masih bisalah Bahasa Indonesia walau tak lancar kali tapi kalau Opung Boru, nggak bisa sama sekali, hanya bisa Bahasa Toba. Membuatku merenung, apakah Opung Boru kami itu pernah punya perasaan tertentu dengan apa yang disebut Indonesia?Â
Opung Boru kami itu, terpaksa disembunyikan di loteng rumah adat Batak Toba sejak kanak-kanak sampai remaja agar tak terlihat oleh para prajurit Belanda. Jadi, seumur hidupnya dia menjadi seorang yang paranoid. Banyak urusan rumah tangga adalah tanggung jawab Opung Doli (suaminya), seperti belanja setiap minggu ke pekan untuk keperluan dapur. Opung Boru hanya di rumah saja, bertenun dan ikut ke ladang yang jaraknya sangat dekat dari rumah. Dia hanya bisa berbicara dengan sebagian dari cucunya, sebagian lagi tidak bisa sama sekali karena tidak fasih Bahasa Batak Toba. Salah siapa kalau mereka tidak bisa Bahasa Batak dan karena itu bahkan tak bisa berkomunikasi dengan opung kandung mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia? Luhut Panjaitan tak ada masalah, dia cair saja berbahasa Inggris dengan cucu-cucunya. Sungguh, semoga mereka bisa juga berbahasa Batak!*** Â
P.S. Batak itu sudah sejak lama adalah sebuah BANGSA! Berarti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H