Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Opung, May I Pray in English?

8 Januari 2023   10:53 Diperbarui: 8 Januari 2023   11:05 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metamorfosa Para Batak Modern:  Bahasa Batak - Bahasa Indonesia - Bahasa Inggris

Tadi malam kebetulan aku mendengarkan pidato Luhut Panjaitan di channel youtube milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).  Rupanya purnawirawan yang juga merupakan anggota HKBP ini menghadiri ibadah awal tahun yang berlangsung hari Jum'at lalu, 6 Januari 2023 di Kompleks Kantor Pusat HKBP, di Pearaja, Tarutung. 

Tarutung itu di Sumut. Aku bilang saja kan, soalnya nggak ada jaminan rata-rata penduduk Indonesia ini tahu di mana persisnya letak Tarutung. Dari Medan, ibu kota Sumut, Tarutung jauh. Kalau naik mobil, perjalanan dari Medan ke Tarutung sekitar 7 sampai 8 jam. 

HKBP secara umum bangga punya anggota jemaat seperti seorang Luhut Panjaitan yang dalam perjalanan waktu beberapa dekade terakhir ini banyak mendukung HKBP dalam berbagai macam bentuk terutama dalam bidang pendidikan. HKBP punya Del Institute of Technology di Balige. Ini salah satu institusi pendidikan top di Sumut, bisa masuk menjadi mahasiswa/i kalau otak cerdas. Bayangkan, pendirinya Luhut Panjatan, 22 tahun yang lalu tetapi sekolah ini milik Yayasan HKBP! 

HKBP punya anggota lebih dari 6 juta jiwa di seluruh dunia. Inilah gereja etnis yang jumlah umatnya paling banyak di dunia di kalangan gereja Protestan. HKBP beraliran Lutheran. Pendiri aliran ini adalah Martin Luther, yang melepaskan dirinya dari Katolik Roma pada awal abad ke-16. 

Luther seorang Jerman. Nanti, pada abad ke-19, seorang warga Jerman bernama Ludwig Ingwer Nommensen datang ke Tanah Batak dan mengkristenkan sebagian orang-orang Batak setelah bertahun-tahun tinggal di sana. 

(Doc. e
(Doc. e
-Misi)

Di kalangan Katolik, sampai sekarang kita masih memiliki Romo Magnis Suseno, SJ. Romo Magnis juga seorang Jerman. Fasih betul berbahasa Jawa. Menurut kisahnya, beliau baru belajar Bahasa Indonesia setelah menguasai Bahasa Jawa. 

Kalau di Tanah Batak, ada juga tokoh di kalangan HKBP, Pdt. Lothar Schreiner. Lama tinggal di Indonesia. Fasih berbahasa Batak Toba. Ketika aku berkunjung ke Jerman dan bertemu pertama kali dengan Pdt. Schreiner, aku tidak menyangka bahwa dari awal sampai akhir pertemuanku dengannya sepanjang hari itu, kami hanya berbicara mempergukanan Bahasa Batak Toba, di Jerman.  Berbicara dengan Pdt. Schreiner bagiku waktu itu laksana berbicara dengan seorang Raja Parhata (Ahli Hukum Adat), ada rasa geli yang tertahan karena aku jarang berbicara Bahasa Toba sehalus itu kecuali dengan orang-orang tua yang sudah lanjut usia. 

Aku melewatkan sebagian besar masa kecil dan remaja di Pulau Samosir dan menjadi anggota HKBP di Parbaba. Di Parbaba, kurasa, lebih dari separoh penduduk di sana merupakan kelompok marga Sihaloho. Itu merupakan sarang mereka di pulau itu. Di kampung ibuku di Simalungun, kami bergerejadi di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), dulu namanya HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun). Kala masih menjadi HKBPS, orang-orang Simalungun pakai Bahasa Toba di gereja. Mereka "pisah" setengah-baik-baik dengan HKBP pada tahun 1960-an dan memutuskan pakai Bahasa Simalungun di gereja, di GKPS. 

Luhut Panjaitan menyampaikan banyak hal dalam pidatonya yang berdurasi sekitar setengah jam itu. Kali ini saya mau bahas satu hal berkaitan dengan bahasa. Sekali waktu, Luhut meminta seorang cucunya berdoa. Si cucu bertanya kepada Luhut, "Opung, May I pay in English?" 

Dalam pidato itu Luhut sedang membicarakan fakta bahwa bahkan di Tarutung, sudah banyak gereja HKBP yang mempergunakan Bahasa Indonesia pada ibadah minggu. Dalam pidato itu Luhut memang pakai Bahasa Indonesia karena yang hadir di sana ada juga yang bukan Batak, jadi, itu wajar. Nampaknya, yang menjadi keprihatinan Luhut adalah menipisnya jiwa kebatakan dalam diri orang-orang Batak sebab mengapa HKBP sebuah gereja yang memakai nama Batak dalam pengidentifikasiannya justru melakukan ibadah minggu dalam Bahasa Indonesia padahal mereka berada di Tanah Batak, bukan di Jakarta atau Surabaya atau Kalimantan atau New York. Di Amerika banyak orang Batak, dan mereka di sana dirikan HKBP juga, berafiliasi dalam hal-hal tertentu dengan Evangelical Lutheran Church in America (ELCA), sebagai sesama Lutheran. 

Menurut Luhut, cucunya lebih bisa merasakan doa yang dia lakoni kalau dia berbahasa Inggris walaupun sang cucu tahu berbahasa Indonesia. Luhut tidak menyebutkan apakah cucunya itu bisa berbahasa Batak. Harusnya itu tanggung jawabnya juga untuk memastikan bahwa cucu-cucunya bisa berbahasa Batak, paling tidak Bahasa Batak Toba. Kalau tidak bisa, itu mungkin salah satu kekurangan Luhut sebagai seorang jenderal? Aku berharap, paling tidak, cucu-cucunya bisalah berkomunikasi dalam Bahasa Batak Toba. 

Bagaimana rasanya menjadi orang Batak tetapi tidak tahu atau tidak bisa Bahasa Batak? Aku tidak tahu bagaimana rasanya itu. Mungkin samalah atau bahkan lebih parah menjadi orang Indonesia tetapi tidak tahu Bahasa Indonesia? 

Apakah memang sudah menjadi hal yang tidak lagi terhindarkan bahwa generasi muda Batak yang lahir dan besar di kota-kota besar Indonesia atau luar Indonesia tidak lagi fasih berbahasa Batak? 

Para sepupuku yang sudah lahir dan besar di Jakarta dan Surabaya, hampir semuanya memang nggak fasih berbahasa Batak. Mereka ngerti, sebagian. Ngomong? Hancur! Lucu. Benar-benar lucu dan juga menyedihkan sebab sebagian para sepupuku ini, kusaksikan sendiri ketika aku tinggal bersama opung di Samosir, mereka pake 'Bahasa Tarzan' kalau berbicara dengan Opung Boru dan Opung Doli. Opung Doli kami masih bisalah Bahasa Indonesia walau tak lancar kali tapi kalau Opung Boru, nggak bisa sama sekali, hanya bisa Bahasa Toba. Membuatku merenung, apakah Opung Boru kami itu pernah punya perasaan tertentu dengan apa yang disebut Indonesia? 

Opung Boru kami itu, terpaksa disembunyikan di loteng rumah adat Batak Toba sejak kanak-kanak sampai remaja agar tak terlihat oleh para prajurit Belanda. Jadi, seumur hidupnya dia menjadi seorang yang paranoid. Banyak urusan rumah tangga adalah tanggung jawab Opung Doli (suaminya), seperti belanja setiap minggu ke pekan untuk keperluan dapur. Opung Boru hanya di rumah saja, bertenun dan ikut ke ladang yang jaraknya sangat dekat dari rumah. Dia hanya bisa berbicara dengan sebagian dari cucunya, sebagian lagi tidak bisa sama sekali karena tidak fasih Bahasa Batak Toba. Salah siapa kalau mereka tidak bisa Bahasa Batak dan karena itu bahkan tak bisa berkomunikasi dengan opung kandung mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia? Luhut Panjaitan tak ada masalah, dia cair saja berbahasa Inggris dengan cucu-cucunya. Sungguh, semoga mereka bisa juga berbahasa Batak!***  

P.S. Batak itu sudah sejak lama adalah sebuah BANGSA! Berarti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun