Pengalaman karena Terpaksa
Saya melatih ponakan saya, Paulina Sihaloho, kelas I SMA di sebuah sekolah Katolik di Pematang Siantar untuk membuat presentasi apa saja setiap pagi sebelum dia berangkat sekolah. Tadinya saya mau agar dia berlatih berbicara, supaya terbiasa berbicara. Selama beberapa bulan, saya biarkan dia memilih topik yang dia suka.Â
Ternyata, ada gunanya. Dia bilang begitu. Satu contoh: Guru Bahasa Indonesia di kelasnya meminta semua murid menceritakan ulang di depan kelas hikayat yang ada dalam buku pelajaran mereka. Paulina memberitahukan saya tentang hal itu. Lalu saya bilang, "Ya sudah, besok pagi kau rekaman sebelum sekolah dengan mengisahkan hikayat itu ya!"Â
Pagi tiba. "Saya belum hafal semua", begitu kata Paulina. Saya agak bentak dia, "Loh, kok kau belum hafal? Hari ini kalian maju ke depan kelas kan?" Dia langsung mulai berkisah dan bisa. Saya bisa ulang kisahnya itu walaupun hanya sekali dengar.
Pulang sekolah Paulina menceritakan apa yang terjadi. Dari semua murid yang ada di kelasnya, hanya dia yang bisa mengisahkan hikayat itu di depan kelas. Â
Itu mengecewakan bagi saya: kenapa hanya Paulina yang bisa, yang lain tidak? Ada apa? Paulina bilang, "Sebenarnya teman-teman kelasku itu banyak yang bisa tetapi begitu berada di depan kelas, mungkin jadi grogi dan akhirnya nggak bisa."Â
Berarti soal latihan berbicara di depan orang atau di depan publik kan? Nah, di sekolah, karena satu kelas biasanya terdiri dari sekitar 30-an murid, kesempatan untuk setiap murid berbicara kan terbatas. Jadi, dalam situasi seperti ini, orang tua/wali sebaiknya mengambil porsi partisipasi yang lebih besar. Bentuknya bisa bermacam-macam, salah satunya seperti apa yang Paulina Sihaloho lakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah: presentasi di depan kamera.
Saya perhatikan, ada banyak manfaatnya bagi dia. Saya rasa, kemampuan metakognitifnya juga menjadi lebih baik. Memang harus sabar berlatih. Saya bisa perhatikan bagaimana bekas mentalitas "terima dan lakukan saja sesuai perintah" melekat dalama dirinya. SD san SMP dia sekolah di negeri. Kami memang agak ngotot agar dia sekolah di swasta saja begitu selesai SMP, di SMA Bintang Timur, Pematang Siantar.Â
Bagaimanapun, kalau mau jujur, aspek-aspek pengembangan metakognitif murid lebih terjamin di sekolah ini daripada di negeri. Terus terang sajalah, ngapai pala kita tutup-tutupi kan?*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H