Menurut sumber sejarah adanya kesamaan tentang keberangkatan 5 Gogo bersaudara, bertepatan dengan kedatangan bangsa Portugis ke Malaku Utara yakni pada tahun 1511-1512 Masehi. Hal ini sesuai waktunya mendaratnya perahu Tuma'ninah di "Pantai Fetelei Bota" Kecamatan Alor Barat Laut pada tahun 1519.
Perahu Tuma'ninah yang digunakan untuk membawa 5 Gogo bersaudara tersebut menuju sebelah barat dan selatan melewati Laut Banda.
Ditengah perjalanannya, mereka kehabisan bekal dan memutuskan untuk singgah di pesisir pantai Bota yang bernama "Fetelei" di tanjung Bota. Â
Atas ijin Allah SWT, Sultan Iyang Gogo menancapkan tongkatnya ke pasir dan timbullah mata air dan diberi nama "Fei Fanja atau air Banda".Â
Setelah merasa bahwa kebutuhan mereka telah terpenuhi, perjalanan dilanjutkan ke arah barat.Â
Saat itu ada seorang raja dari kerajaan "Bungabali" yang berkuasa yakni Raja Baololong sedang beristirahat di salah satu wilayah kekuasaannya di daerah Alaang.Â
Sang Raja melihat ada sebuah perahu layar sedang melintasi perairannya. Serta merta beliau melambaikan tangannya memanggil perahu tersebut.Â
Setelah mendengar melihat lambaian tangan sang Raja itu Gogo bersaudara pun menepi. Terjadilah percakapan antara keduanya dan diakhiri dengan pertukaran cinderamata. 5 Orang Gogo bersaudara ini menyerahkan sebuah"nekara (Moko)" kepada sang raja. Sebaliknya Raja Baololong pun menyerahkan sebuah keris.Â
Dalam perjalanan ke arah barat menuju Tuabang di pulau Pantar mereka terdampar. Dan memutuskan untuk kembali ke BangMate  desa Alor Besar untuk bertemu kembali dengan Raja Baololong di Istananya Uma PusungRebong.Â
Sang Raja kemudian meminta mereka berlima untuk tingga menetap di Alor Besar dan tinggal di rumah Pusung Rebong. Seiring berjalannya waktu, 5 Gogo bersaudara itu merasa tidak nyaman tinggal bersama raja di rumah tersebut.Â
Mereka kemudian meminta sebidang tanah untuk dijadikan sebagai tempat tinggal sendiri. Raja pun menyetujuinya dan memberikan mereka tanah yang masih di dalam wilayah kampung Bang Mate-Alor Besar. Rumah yang mereka dirikan diberi nama "Uma Fanja atau Rumah Banda ". Rumah inilah yang menjadi tempat penyimpanan Al Qur'an Tua hingga saat ini.Â