Kualitas peradaban dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya. Pendidikan dituntut selalu berkembang, dan menjawab kebutuhan manusia di setiap jamannya.
Di Indonesia, sedikitnya ada 3 ranah penting yang menjadi fokus pendidikan. Yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif mencakup wawasan pengetahuan dan spirit keilmuan. Ini lebih mengarah pada kemampuan otak seseorang. Afektif berbicara tentang sisi nilai. Kecerdasan emosi, spiritual dan sebagainya berpengaruh dalam ranah ini. Sedangkan psikomotorik banyak berfokus pada kemapuan fisik.Â
Sekarang, kita dihadapkan pada fenomena yang cukup semrawut. Dari sisi keilmuan, kita jelas kalah tertinggal dengan negara lain. Bahkan antar daerah pun berbeda. Kompetensi guru dan sumber belajar kerap menjadi kambing hitam atas situasi ini.
Di sisi lain, sikap baik tidak tercermin dari mereka yang berpendidikan tinggi. Tengok saja berita sehari-hari. Seakan kenyang dengan fakta kekerasan siswa sekolah, kejahatan seksual, narkoba, hingga korupsi para pejabat.
Bidang keahlian sempat menjadi primadona di pendidikan menengah. Seolah tagline 'lulus, siap kerja' menjadi jaminan yang besar.Â
Ketiga fakta di atas mewakili ketiga ranah yang dijelaskan sebelumnya. Artinya, bangsa ini masih punya PR dalam bidang pendidikan.Â
Pendidikan tidak hanya milik kementerian saja. Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Ada tiga pemeran utama dalam pendidikan. Yakni keluarga, lingkungan, dan sekolah. Ketiganya harus memiliki sinergi dan integritas yang sama dalam beberapa hal.Â
Pertama, pandangan. Pendidikan dipandang sebagai kebutuhan atau kewajiban? Kebutuhan akan pendidikan akan mengajak subyek pendidikan untuk berjuang keras dan mendapatkan yang terbaik. Jika dipandang sebagai kewajiban, pelaksanaannya mungkin sekedar 'mengikuti arus' dalam masyarakat saja. Hal ini harusnya bisa dikomunikasikan dengan baik, mulai dari lingkungan keluarga.
Pemahaman yang baik tentang pendidikan dalam sebuah keluarga, secara tidak langsung akan membimbing dalam mencari lingkungan pendidikan yang baik, yang biasanya telah mengadopsi kurikulum (memiliki sekolah) yang baik. Jika setiap keluarga memiliki pandangan yang baik tentang pendidikan, maka secara masif akan tercipta komunitas atau lingkungan yang ramah terhadap pendidikan.Â
Kedua, metode dan proses. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam belajar. Inilah yang kadang, secara tidak sadar sulit diterima. Seseorang yang cara belajarnya aktif dengan seluruh tubuhnya, cenderung dinilai nakal oleh guru yang senang ceramah. Bukankah sekarang media dan metode pembelajaran sudah banyak berkembang?
Ya, memang. Tapi berapa persen implementasinya? Kita cenderung tidak sabar dalam proses, dan mendewakan hasil. Disinilah sulitnya membentuk karakter.Â