Mohon tunggu...
Torpid Koala
Torpid Koala Mohon Tunggu... -

Tulisan adalah latihan mengungkapkan pikiran, jangan salahkan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kubur Harapanku

9 Mei 2016   21:50 Diperbarui: 9 Mei 2016   21:57 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap rindu  kekasihku di foto, melihat tubuhnya yang tegap dibalut kemeja hijau bernuansa batik, bercelanakan bahan kain hitam kecoklatan. Dia adalah lelaki yang sempurna menurutku, bukan hanya dari fisiknya tapi juga tingkah lakunya. Bersamanya aku sadar akan arti hidup yang sesungguhnya, bersama dia juga aku selalu punya harapan merengkuh masa depan yang lebih baik. Namun sayang, aku tak kuasa menyentuhnya lagi saat ini, kekasihku itu telah pergi.

“Aku pamit dulu Sri, tak nggolek duit nengkutha.” Kata itulah yang terakhir kali mas Bambang ucapkan padaku. Aku hanya bisa menunduk, air mataku membuncah melepas kepergiaannya. Tapi mau bagaimana lagi, himpitan ekonomi memaksa mas Bambang harus merantau demi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Sebenarnya di kampung kami, sudah biasa laki-laki merantau ke kota mencari nafkah. Namun ini tetap menyesakkan bagiku.

Aku duduk diberanda rumah, meniupi segelas teh manis yang mengepul panas. Di luar, hujan rintik-rintik menjadi penghias halaman, sesekali satu dua orang berlarian lewat gang depan rumah. Dari mana saja mereka? Bukankah ini sudah pukul tujuh malam.

Malam ini adalah malam ketiga dimana aku ngeteh sendirian tanpa mas Bambang. Biasanya, dari jam segini sampai sembilan malam, kami masih asyik ngobrol di beranda, menikmati teh wangi yang menghangatkan. Tak ada yang bisa kulakukan selain melakukan kebiasaanku setiap hari, meskipun sangat berbeda karena mas Bambang tak ada. Namun itu sedikit banyak mengalihkan kangenku padanya.

“Mbak, mbak Sri” sesosok bayangan memanggilku dari gang depan, ia terlihat hanya menutupi kepalanya dengan tangan. Aku segera mengambil payung, membukakan pagar untuknya.

 “Narto, ada apa?” tanyaku. Ternyata ia adalah Narto, anak pak lurah. Usianya di bawahku beberapa tahun, tubuhnya pendek gempal dipadukan dengan rambut hitamnya yang kriting.

“ora ono opo-opo mbak, mas Bambang di rumah?” tanya Narto.

 “Mas Bambang sudah tiga hari ini pergi ke kota, ada apa ya To?”

“Ada keperluan sedikit, tapi yo wis. Nanti saja kalau mas Bambang sudah pulang”

Aku mengangguk membalas salam Narto, Ia segera berjalan pulang. Aku tak tahu apa urusan Narto dengan mas Bambang, tapi perasaanku tak enak. Narto ini terkenal berandalan di kampung, ia suka trek-trekan, mabuk-mabukan, dan berjudi. “Mau jadi apa pemuda itu” gumamku dalam hati.

 Sekitar tengah malam, suara jangkrik memenuhi telingaku. Sejak tadi aku hanya berguling-guling di ranjang. Ini malam ketiga aku tak bisa tidur. Hingga sebuah ketok pintu terdengar. “Sri...Sri..Buka pintunya” suara seorang laki-laki terdengar. Aku bergegas turun dari ranjang, tanpa curiga ada apa tamu datang dini hari seperti ini, mungkin ada berita penting. Aku membuka pintu, dan sekejap seorang lelaki menyergapku, segera menyumpal mulutku. Dua tiga orang merangsek masuk, satu diantaranya mengikat mulutku dengan kain, yang lain mengikat tanganku. Aku berteriak kalap, menjerit ketakutan, tapi bagaimana? Mulutku sempurna tersumpal. Dua orang segera menggotongku masuk, yang lain sepertinya mengunci pintu. Apa yang ingin kalian lakukan? Mereka sekitar tiga atau empat orang, merebahkanku ke ranjang. Dua orang memegangi tubuhku, yang lain melepas pakaianku. Oh tuhan apa ini? seorang di antara mereka bersiap melepaskan pakaiannya. Mereka memperkosaku bergantian. Aku hanya bisa menangis ketakutan, tenaga tak cukup berarti untuk melawan mereka. Mulutku tersumpal, tanganku terikat, “Mas Bambang...” jeritku dalam hati.

Aku terbaring lemas di ranjang tanpa sehelai kain pun. Masih dengan tangan terikat dan mulut tersumpal, aku melihat mereka dan mengenali salah satunya. Narto, tak salah lagi ia adalah Narto. Wajahnya terlihat di antara siluet cahaya yang tembus ke kamar. Hingga seseorang mengikat leherku, entah dengan kawat atau apa, aku tercekik. Aku meronta-ronta kesakitan tak bisa bernafas, dan akhirnya jiwaku keluar dari ragaku.

Aku masih di situ, berdiri di samping tubuh telanjangku yang kaku. Melihat keempat orang yang kelihatan gugup. “piye iki?” kata salah seorang dari mereka.

“Kita kubur wae lah”sahut yang lain. Mereka mengangguk-angguk menyetujui ide gila itu. Salah satu kemudian mencari cangkul dan segera menggali lantai kamarku. Memasukan langsung tubuh telanjangku ke dalam lubang itu, dan menutupnya dengan tanah. Tak hanya itu mereka juga menutup bekas kuburanku dengan karpet, kemudian meletakkan lemari di atasnya. “Sempurna” kata mereka sambil berlalu meninggalkan rumahku.

Sepuluh tahun berlalu, aku masih duduk di sini, di rumahku. menangis setiap malam, membuat bulu kuduk berdiri setiap orang lewat yang depan rumah. Aku memandangi foto mas Bambang, mengenang masa indah bersamanya sebelum orang-orang jahat itu merenggutnya. Lalu di mana mas Bambang, kenapa hingga sepuluh tahun berlalu ia tak kunjung datang. Seminggu setelah kematianku kabar itu berhembus dari mulut-mulut tetangga. Mas Bambang ditemukan tak bernyawa di sungai kampung. hasil otopsi menunjukan ia dibunuh. Ia dibunuh ketika pulang karena mendengar kabar bahwa aku akan pergi menyusulnya. Kalian tahu siapa pembunuhnya? Tidak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Kematian itu seolah-olah ditutup-tutupi. Penyelidikan dirahasiakan, kasus ditinggalkan, untuk kemudian dilupakan.

Tapi kenapa hingga sepuluh tahun Mas Bambang tak datang ke sini, tentu saja karena jasadnya ditemukan, Ia dikuburkan dengan cara yang baik, didoakan. Sementara aku, siapa yang akan menemukan jasadku di bawah lemari ini. meskipun beberapa warga sudah menyisir rumah mencariku, tapi kabar Narto yang menyebutkan bahwa aku pergi ke kota menyusul mas Bambang membuat mereka urung mencariku lagi. Maka jadilah belulangku terkubur di sana, tanpa kafan, apalagi doa-doa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun