Aku terbaring lemas di ranjang tanpa sehelai kain pun. Masih dengan tangan terikat dan mulut tersumpal, aku melihat mereka dan mengenali salah satunya. Narto, tak salah lagi ia adalah Narto. Wajahnya terlihat di antara siluet cahaya yang tembus ke kamar. Hingga seseorang mengikat leherku, entah dengan kawat atau apa, aku tercekik. Aku meronta-ronta kesakitan tak bisa bernafas, dan akhirnya jiwaku keluar dari ragaku.
Aku masih di situ, berdiri di samping tubuh telanjangku yang kaku. Melihat keempat orang yang kelihatan gugup. “piye iki?” kata salah seorang dari mereka.
“Kita kubur wae lah”sahut yang lain. Mereka mengangguk-angguk menyetujui ide gila itu. Salah satu kemudian mencari cangkul dan segera menggali lantai kamarku. Memasukan langsung tubuh telanjangku ke dalam lubang itu, dan menutupnya dengan tanah. Tak hanya itu mereka juga menutup bekas kuburanku dengan karpet, kemudian meletakkan lemari di atasnya. “Sempurna” kata mereka sambil berlalu meninggalkan rumahku.
Sepuluh tahun berlalu, aku masih duduk di sini, di rumahku. menangis setiap malam, membuat bulu kuduk berdiri setiap orang lewat yang depan rumah. Aku memandangi foto mas Bambang, mengenang masa indah bersamanya sebelum orang-orang jahat itu merenggutnya. Lalu di mana mas Bambang, kenapa hingga sepuluh tahun berlalu ia tak kunjung datang. Seminggu setelah kematianku kabar itu berhembus dari mulut-mulut tetangga. Mas Bambang ditemukan tak bernyawa di sungai kampung. hasil otopsi menunjukan ia dibunuh. Ia dibunuh ketika pulang karena mendengar kabar bahwa aku akan pergi menyusulnya. Kalian tahu siapa pembunuhnya? Tidak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Kematian itu seolah-olah ditutup-tutupi. Penyelidikan dirahasiakan, kasus ditinggalkan, untuk kemudian dilupakan.
Tapi kenapa hingga sepuluh tahun Mas Bambang tak datang ke sini, tentu saja karena jasadnya ditemukan, Ia dikuburkan dengan cara yang baik, didoakan. Sementara aku, siapa yang akan menemukan jasadku di bawah lemari ini. meskipun beberapa warga sudah menyisir rumah mencariku, tapi kabar Narto yang menyebutkan bahwa aku pergi ke kota menyusul mas Bambang membuat mereka urung mencariku lagi. Maka jadilah belulangku terkubur di sana, tanpa kafan, apalagi doa-doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H