Mohon tunggu...
Lilis Lisnawati
Lilis Lisnawati Mohon Tunggu... -

perempuan, pembaca, penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Mata Najwa Meliput Penjara  

8 Maret 2016   19:36 Diperbarui: 8 Maret 2016   19:59 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

["salah satu bagian tayangan Mata Najwa episode Wajah Penjara"][sumber: YouTube]

 

Pada Rabu (2 Maret 2016) lalu, acara Mata Najwa menyajikan liputan khusus dengan tema “Wajah Penjara: Kondisi Penjara di Medan”. Dalam acara tersebut, tim Mata Najwa bersama Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mengunjungi Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Labuhan Deli dan Rutan Kelas I Medan, serta melakukan kegiatan inspeksi mendadak (Sidak) bersama Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) di Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan. Acara ini sangat menarik untuk disimak karena selama ini Lapas dan Rutan sangat tertutup dan khalayak hampir tidak pernah diperlihatkan mengenai kehidupan di dalamnya, kecuali berita-berita bombastis yang menggambarkan kemewahan ruang sel para koruptor atau bandar narkoba yang mengoperasikan bisnisnya dari Lapas. Hal ini merupakan sinyal positif dari Pemasyarakatan bahwa mereka telah berubah menjadi lebih terbuka kepada masyarakat. Namun sayangnya, kebaikan ini tidak diikuti oleh kepekaan tim Mata Najwa dalam menjunjung etika jurnlistik dalam menyuguhkan tayangan kepada masyarakat. Tulisan ini dibuat sebagai kritik atas ketidakpekaan tim Mata Najwa terkait perlindungan narapidana dan tahanan dari eksploitasi identitas sebagai bagian dari perlindungan hak, harkat, dan martabat narapidana dan tahanan sebagai subyek yang dirampas kebebasannya.

Mata Najwa episode khusus ini menampilkan secara gamblang gambaran kondisi Rutan dan Lapas seutuhnya. Area akses masuk ke dalam Rutan, area blok, area kamar-kamar sel di dalamnya, area MCK (mandi, cuci, kakus) hingga wajah-wajah narapidana dan tahanan yang menghuni Lapas dan Rutan tersebut disajikan kepada khalayak tanpa ada sensor sedikit pun. Begitu pula dalam penyebutan nama. Beberapa penghuni Lapas dan Rutan diminta menyebutkan nama secara jelas dan bahkan diulangi kembali penyebutannya oleh Bapak Yasonna Laoly atau petugas Rutan dan Lapas yang mendampingi kunjungan saat itu dan tidak ada satu penyebutan nama pun yang disensor dalam tayangan tersebut. Liputan yang dilakukan dalam acara Mata Najwa telah membawa pada satu pertanyaan, “di manaperlindungan terhadap identitas narapidana dan tahanan tersebut?

Pembukaan dalam teks Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang. Hal ini kemudian disebutkan secara detil dalam pasal 2 dan pasal 9. Pasal 2 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Salah satu  cara yang ditempuh untuk mencapai profesionalitas tersebut adalah dengan menghormati hak privasi. Selanjutnya, Pasal 9 juga menyebutkan wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Namun, hal ini tidak tergambarkan pada liputan khusus Mata Najwa.

Narapidana dan tahanan dalam tayangan ini secara tidak langsung berperan sebagai narasumber, diwawancara secara spontan, diberikan beberapa poin pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan mereka selama menjalani hukuman di dalam Rutan/Lapas. Namun, penggambaran wajah secara jelas sebagai identitas yang melekat pada diri mereka tidak disamarkan. Pun karena wawancara dilakukan secara spontan, narapidana dan tahanan tersebut tidak dimintai pendapat terlebih dahulu apakah mereka keberatan atau tidak untuk direkam dan ditayangkan secara luas di televisi berskala nasional seperti Metro TV dan di kanal YouTube yang dapat dilihat secara bebas kapan saja.

Area Lapas dan Rutan merupakan area terbatas yang untuk mengaksesnya dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak yang berwenang. Surat Edaran No. PAS-HM.01.02-19 Tentang Peliputan dan Wawancara telah menyebutkan bahwa narapidana dan tahanan tidak diperkenankan untuk diwawancarai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lapas dan Rutan juga tidak diperbolehkan dijadikan tempat peliputan karena dinilai akan mengganggu kegiatan pembinaan, merusak ketentraman penghuni, dan juga berdampak pada gangguan sistem keamanan di Lapas dan Rutan. Aturan ini nyata adanya. Jika pihak Lapas dan Rutan saja sudah memberikan kelonggaran untuk mewawancarai narapidana dan tahanan dan membawa kamera selama melakukan liputan di dalam Lapas dan Rutan, mengapa tim Mata Najwa tidak peka untuk melindungi hak dan privasi narapidana dan tahanan tersebut?

Penyamaran identitas narapidana dan tahanan ketika diliput media bukan saja merupakan upaya penghormatan terhadap hak privasi, namun juga merupakan perlindungan dari dampak-dampak sosial yang menjadi ancaman ketika mereka kembali ke tengah masyarakat. Tidak sedikit penelitian yang berhasil membuktikan bagaimana stigma buruk dari masyarakat terhadap mantan narapidana menjadi salah satu hambatan terbesar dalam proses reintegrasi mantan narapidana ke dalam lingkungan masyarakat. Narapidana merupakan pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi di dalam masyarakat yang membuat proses reintegrasi mereka ke tengah masyarakat menjadi semakin sulit. Bahkan, United Nation Office on Drugs and Crime (2012) telah menyebutkan masalah stigmatisasi terhadap mantan narapidana sebagai salah satu isu adaptasi sosial yang paling signifikan dihadapi oleh mantan narapidana.

Secara sederhana, contoh tindakan yang menunjukkan stigma ini dapat dilihat dalam tayangan Mata Najwa di episode yang sama. Dalam salah satu bagian, Najwa dan Bapak Yasonna berkunjung ke salah satu blok yang di dalamnya terdapat warung. Pelayan warung tersebut merupakan narapidana. Ketika narapidana tersebut mengakui bahwa ia dihukum karena melakukan kasus perampokan, Bapak Yasonna secara spontan berucap, “Kamu ngerampok tapi dipercaya juga pegang uang?”. Ucapan Bapak Yasonna secara jelas telah menunjukkan bagaimana seorang Menteri Hukum dan HAM yang sepatutnya memahami apa dampak stigma terhadap narapidana justru menjadi salah satu pemberi stigma tersebut. Jika menteri saja dapat berbuat demikian, bagaimana dengan masyarakat luas yang belum paham apa dampak stigma terhadap narapidana?

Memahami hal ini, maka eksploitasi visual wajah-wajah narapidana merupakan tindakan yang tidak bijaksana dan seharusnya tidak sepatutnya dilakukan. Benar bahwa mereka adalah pihak yang sepatutnya dihukum karena telah melanggar hukum. Namun, mereka juga perlu diberikan kesempatan untuk menjalani hidup mereka kembali secara normal setelah selesai menjalani hukumannya. Hidup bebas tanpa bayang-bayang stigma yang bisa saja mengakibatkan mereka terjerumus kembali dalam tindakan-tindakan pelanggaran hukum lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun