Hoaks kadang berkamlufase menjadi sosok pembela kebenaran, berkampanye tentang moralitas dan dukungan kepada  orang tertindas atau orang-orang frustasi terhadap diberlakukannya regulasi. Namun sesugguhnya, itu tidak berbeda dengan rayuan ular berkepala dua atau sengaja memancing di air yang keruh.Waspada terhadap hoaks diperlukan agar kita tidak terpedaya dengan tipu muslihatnya. Secara dini informasi dapat diwaspadai sebagai hoaks jika isinya bertentangan dengan ajaran agama, karena tidak ada satupun agama di muka bumi ini yang mengajarkan hasutan dan kerusakan.
Selain itu, informasi dapat dicurigai sebagai hoaks jika bertentangan dengan regulasi, bertentangan dengan kebenaran universal, disebarkan oleh kelompok atau komunitas tertentu yang bukan media informasi pemerintah maupun swasta, menyerang pribadi seseorang yang sedang mengikuti pencalonan kepala negara atau kepala daerah, ditujukan pada publik figur baik dalam pemerintahan atau swasta, ditujukan pada produk barang tertentu karena persaingan dagang dan segala sesuatu yang tidak logis dan rasional.
Menanggapi Hoaks
Menanggapi informasi yang kita terima sebaiknya dengan kepala dingin apalagi jika informasi itu tidak menyangkut langsung pribadi kita. Orang tua kita menasehati, aja kagetan aja gumunan. Dengan tidak mudah kaget dan heran maka diharapkan kita dapat berpikir jernih untuk menanggapi informasi. Jika kita tidak tahu persis dasar-dasar dan sumber informasi, sedang kita tidak berkepentingan dengan informasi itu maka pilihan terbaiknya adalah tidak meneruskan ke orang lain. Jika kita meneruskan ke orang lain dan ternyata informasi itu adalah hoaks maka kita juga sudah menjadi penyebar fitnah. Waktu, tenaga dan biaya yang kita keluarkan untuk meneruskan hoaks tidaklah seberapa tetapi bagi objek hoaks dampaknya mungkin bisa sangat besar dan berlaku seumur hidup atau dapat menghilangkan peluang yang bisa diraihnya.
Apabila kita ada kepentingan langsung maupun tidak langsung dengan sebuah informasi untuk diteruskan, maka kita harus bandingkan terlebih dahulu dengan sumber informasi lainnya terlebih jika sumber pertama tidak jelas atau diragukan integritasnya. Berhati-hati dan waspada sangat diperlukan untuk memutuskan meneruskan atau tidak meneruskan sebuah informasi, sebelum mejadi viral. Selektif dan tidak asal meneruskan informasi adalah pilhan terbaik. Saat ini banyak orang meneruskan informasi yang diterima entah itu hoaks atau bukan dengan asal meneruskan tanpa pertimbangan sedikitpun. Jika informasi itu ternyata hoaks maka berhasillah si pembuatnya. Jika badan sedang tidak mujur dan ternyata informasinya adalah isyu sara maka kita bisa terkena tuntutan pidana. Sak beja-bejaning wong lali isih beja wong kang eling lan waspada, itu nasehat leluhur kita.
Berpikir secara ilmiah sebenarnya telah diajarkan di bangku sekolah. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran mengajarkan kita langkah-langkah dalam memecahkan masalah dimulai dengan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi dan mengkomunikasikan. Jika semua orang sudah berpikir secara ilmiah maka hoaks akan termarginalisasi sendiri. Permasalahannya, umumnya kita refleks dalam meneruskan informasi tanpa melalui proses berpikir, baru jika terjadi permasalahan merasa bersalah dan menyesal. Padahal, dalam dunia maya jika sesuatu sudah terunggah dan diunduh orang lain sudah tidak mungkin untuk ditarik kembali. Itulah, jika sesuatu kita lakukan tanpa proses berpikir maka sesal kemudian tidak berguna.
Sebagai seorang guru seharusnya kita memberi contoh terbaik bagaimana kita menanggapi sebuah informasi apalagi hoaks. Masyarakat kita masih menganggap bahwa guru adalah batara (dewa) yang tahu segalanya dan kesalahannya tidak ditoleransi. Guru sebagai panutan dan teladan di masyarakat. Guru digugu (dipakai sebagai panutan) karena ilmunya dan ditiru(diteladani) karena perilakunya. Karenanya, guru akan terjaga kehormatannya jika tidak meneruskan hoaks atau membuat hoaks. Tetapi guru juga manusia yang heterogenitasnya tinggi baik di bidang kemampuan menalar maupun ahlak dan kepribadiannya. Namun setidaknya, dengan predikat guru yang disandangnya dapat mengendalikan diri untuk bisa menjadi sosok manusia Indonesia yang bermartabat
Ini pengalaman pribadi. Suatu ketika kami bertiga makan di seafood Seduluran Lamongan warung tenda yang bisa ditemukan di mana-mana. Kami berlima memiliki selera berbeda-beda dari burung dara sampai makan laut. Seperti biasa saya suka udang gongsa setengah matang.Ingat saat mengaji dulu, ustadz mengajarkan bahwa semua binatang laut halal hukumnya walaupun sudah menjadi bangkai. Setelah dewasa baru tahu bahwa laut adalah sumber Iodium yang berperan penting dalam perkembangan intelligence quotient(IQ). Untuk minuman saya pesan jeruk manis yang banyak mengandung vitamin C pikir saya untuk mengurangi aroma amis dan melarutkan lemak.
Setelah makanan tersaji dan di hadapan saya ada udang gongsa setengah matang serta segelas minuman yang aromanya manis-manis asam, teman saya nyeletuk, "Hai, mau mati ya kamu!" "Memang kenapa?, sahut saya. "Apa kamu nggak baca di internet, nggak boleh makan udang bersama vitamin C?", lanjutnya. Spontan saya keluarkan tablet dan saya cari di internet, ternyata banyak sekali unggahan tentang udang dan vitain C yang kabarnya vitamin C akan mengubah kandungan Arsenik dalam udang menjadi bersifat racun.
Kelihatannya tidak masuk di akal, karena biasanya orang makan seafood agar tidak amis disediakan jeruk nipis atau kalau memang benar kenapa ada masakan udang bumbu asam manis, tanya saya dalam hati. Sudah beberapa kali juga saya makan menu yang sama dengan minuman yang sama tetapi tidak ada reaksi apa-apa. Nekat saja, karena logika saya mengatakan tidak benar dan saya terlanjur lapar tidak sabar untuk menjelajah unggahan lainnya. Setelah selesai makan, sambil nongkrong sebentar saya coba jelajahi lagi dunia maya yang akhirnya saya temukan bahwa iformasi itu adalah hoaks belaka.
 Putuskan Rantai Hoaks