Mohon tunggu...
LILIK KHOTIMATUZZAHROH
LILIK KHOTIMATUZZAHROH Mohon Tunggu... Akuntan - MAHASISWA

MAHASISWA S1 - AKUNTANSI - NIM 43223110064 - FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS - UNIVERSITAS MERCU BUANA - PENDIDIKAN ETIK DAN KORUPSI - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

16 November 2024   10:58 Diperbarui: 16 November 2024   23:31 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri_Prof. Apollo. Modul Kuliah 10 Etika dan Hukum UMB 2022

Korupsi di Indonesia Sebuah Fenomena yang Kompleks

Korupsi merupakan salah satu tantangan serta masalah besar dan serius yang dihadapi Indonesia dalam perkembangan ekonomi, keadaan sosial dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Sehingga memerlukan pendekatan yang tepat untuk memahami dan mengatasinya. Pendekatan Robert Kiltgaard dan Jack Bologna memberikan wawasan yang mendalam dan komprehensif dalam memahami penyebab dan factor yang mendorong maraknya korupsi di Indonesi. Sebagai negara dengan birokrasi yang kompleks, Indonesia kerap menghadapi tantangan serius dalam mencegah prkatik korupsi. . Klitgaard dan Bologna masing-masing memberikan teori yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi akar permasalahan ini, baik dari sisi struktural, sistematik, maupun perilaku individu yang terlibat dalam Tindakan korupsi. Salah satu pendekatan yang relevan untuk dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, seorang ekonom dan ahli kebijakan publik yang memperkenalkan formula korupsi yang dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai penyebab dan solusi untuk mengatasi masalah ini. Klitgaard mengemukakan bahwa korupsi dapat dipahami melalui rumus sederhana sebagai berikut => C= M + D -- A, yaitu Corruption = ( Monopoly + Discretion ) -- Accountability. Pendekatan ini membantu memahami penyebab utama korupsi yang dapat dilihat dalam berbagai konteks atau aspek, termasuk di Indonesia.

A. Dalam konteks di Indonesia memiliki beberapa faktor kunci yang sesuai dengan pendekatan Robert Kiltgaard yaitu :

Monopoli (Monopoly) = M

Dalam beberapa sektor tertentu, seperti sumber daya alam dan pengadaan barang dan jasa, terutama di lembaga pemerintah dan badan usaha milik negara yang menciptakan peluang bagi pejabat menjadi sangat kuat untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Misalnya, dalam proyek infrastruktur (adanya monopoli dapat menyebabkan penyalahgunaan anggaran dan praktik kolusi antara pihak swasta dan pemerintah). Birokrasi yang terpusat dalam pemberian izin usaha sering kali memberikan ruang bagi pejabat untuk memanfaatkan kekuasaannya.

Diskresi (Discretion) = D atau kebijakan yang memberikan kewenangan besar kepada individu tertentu tanpa pengawasan yang memicu kebebasan dalam pengambilan keputusan juga berkontribusi yang sering kali memicu terhadap praktik korupsi. Dalam banyak kasus, pejabat publik memiliki wewenang yang besar untuk menentukan kebijakan dan alokasi anggaran tanpa pengawasan yang memadai. Hal ini sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Misal pada proses pengadaan barang dan jasa, dimana pejabat memiliki kebebasan menentukan pemenang tender.

Kurangnya Akuntanbilitas (Accountability) = A

Rendahnya akuntabilitas menjadi faktor penting yang memperburuk keadaan terutama Banyak institusi di Indonesia yang kurang transparan dan tidak memiliki mekanisme pengawasan yang efektif dan lemahnya penegakan hukum yang memungkinkan Tindakan korupsi sulit terdeteksi dan ditindaklanjuti, sehingga menciptakan budaya impunitas dan terus berlanjut. Contohnya adalah lemahnya integritas dalam pelaporan keuangan daerah yang sering disoroti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dalam rangka penerapan pendekatan Robert Klitgaard di Indonesia memerlukan sinergi antara pembatasan monopoli, pengendalian diskresi, dan penguatan akuntabilitas, penting bagi Indonesia untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola publik pemerintahan. Reformasi birokrasi, meningkatkan persaingan, penguatan lembaga pengawas, dan penerapan teknologi informasi dalam sistem pemerintahan yang dapat menjadi langkah penting dan strategis untuk mengurangi kesempatan terjadinya korupsi ini. Pendekatan Robert Klitgaard menawarkan kerangka kerja yang sederhana namun efektif untuk dapat lebih memahami dinamika dan strategi yang lebih efektif untuk memerangi atau mencegah terjadinya korupsi.

Dalam memahami dan menangani korupsi, pendekatan Robert Klitgaard menjadi kerangka kerja yang relevan. Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi ketika ada monopoli kekuasaan, diskresi yang tidak diawasi, dan lemahnya akuntabilitas. Oleh karena itu, implementasi teori ini di Indonesia melibatkan upaya untuk membatasi monopoli, mengurangi diskresi, dan memperkuat akuntabilitas. Dengan memahami ketiga elemen ini, kita dapat merumuskan strategi untuk mencegah, mengobati, dan menghilangkan korupsi di Indonesia.

Dokpri_Prof. Apollo. Modul Kuliah 10 Etika dan Hukum UMB 2022
Dokpri_Prof. Apollo. Modul Kuliah 10 Etika dan Hukum UMB 2022

B. Teori Gone oleh Jack Bologna

Teori lain yang membantu menjelaskan penyebab korupsi adalah teori GONE (Greed, Opportunity, Need, and Environment) yang dikemukakan oleh Jack Bologna. Teori GONE adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jack Bologna dalam konteks kejahatan kerah putih, termasuk korupsi, penipuan, dan pelanggaran etika bisnis. Teori ini menjelaskan empat elemen utama yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindakan penipuan atau korupsi.  Teori ini juga memfokuskan pada kombinasi faktor individu dan lingkungan yang menciptakan peluang bagi korupsi.

Greed (Keserakahan): Dorongan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah adalah salah satu faktor utama yang mendorong individu untuk melakukan penipuan atau korupsi. Dalam banyak kasus, pelaku memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang berlebihan, baik berupa uang, kekuasaan, atau keuntungan lainnya, meskipun tindakan tersebut melanggar hukum atau norma moral.  Meskipun seseorang sudah memiliki penghasilan yang layak, keinginan untuk memperkaya diri lebih cepat atau memperoleh kekayaan yang lebih besar tanpa batas. Contoh: Seorang pejabat yang memiliki gaji tetap mungkin merasa tergoda untuk menerima suap atau komisi dari pihak lain demi memenuhi keinginannya untuk hidup mewah atau memperkaya diri secara cepat.

Opportunity (Kesempatan): Kesempatan muncul ketika ada celah atau kelemahan dalam sistem pengawasan dan pengendalian, yang memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan tindakan ilegal tanpa takut tertangkap. Korupsi terjadi ketika ada kesempatan untuk melakukannya. Sistem yang lemah, kurangnya pengawasan, serta ketidakmampuan penegak hukum untuk mengawasi jalannya pemerintahan, menciptakan ruang bagi individu untuk melakukan tindakan ilegal tanpa takut terdeteksi. Contoh: Ketika pengelolaan proyek infrastruktur atau pengadaan barang negara tidak diawasi secara ketat, pejabat memiliki kesempatan untuk memanipulasi anggaran atau mengalihkan dana untuk kepentingan pribadi.

Need (Kebutuhan): Beberapa individu merasa terdorong untuk melakukan korupsi karena adanya tekanan sosial atau ekonomi yang besar. Misalnya, kebutuhan untuk mendanai kampanye politik atau memenuhi gaya hidup yang tinggi bisa menjadi faktor pendorong untuk mencari sumber daya ilegal. Kebutuhan ini tidak selalu bersifat objektif . Contoh: Seorang pejabat yang terlibat dalam proyek besar mungkin merasa tertekan untuk menerima suap agar dapat memenuhi kebutuhan pribadi atau kebutuhan keluarganya yang mendesak.

Exposure (Pengungkapan)

Pengungkapan merujuk pada tingkat risiko tertangkap atau dampak hukum atas tindakan penipuan. Jika seseorang merasa bahwa risiko pengungkapan sangat kecil atau bahwa mereka dapat menghindari hukuman, mereka lebih mungkin untuk melakukan tindakan ilegal. Contoh: Pelaku korupsi merasa aman karena memiliki koneksi politik atau mengetahui bahwa hukum di negara tersebut cenderung lemah. 

CONTOH KASUS

Salah satu contoh kasus korupsi yang dapat dianalisis dengan pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna adalah kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) di Indonesia yang menjadi salah satu skandal korupsi terbesar yang telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahun 2017, pengadilan memutuskan bahwa proyek senilai Rp 5, 9 triliun ini mengalami penyimpangan yang melibatkan beberapa pejabat tinggi, politisi, hingga pihak swasta. Kasus ini diputuskan di pengadilan dengan sejumlah terdakwa yang terbukti bersalah, termasuk Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang dinyatakan terlibat dalam tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan e-KTP, serta Setya Novanto, mantan Ketua DPR Republik Indonesia. Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun.

Analisis Kasus dengan Pendekatan Robert Klitgaard

Dalam kasus e-KTP, pendekatan Klitgaard tentang korupsi yang didorong oleh monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas sangat relevan. Pada proyek ini, pemerintah memberikan kekuasaan dan diskresi besar kepada Kementerian Dalam Negeri dalam proses pengadaan barang dan jasa tanpa pengawasan ketat. Dalam kondisi tersebut, terjadi monopoli dalam pengelolaan dana besar untuk proyek yang nilainya mencapai triliunan rupiah. Minimnya akuntabilitas dalam proyek ini tercermin dari tidak adanya pengawasan yang memadai, baik dari lembaga pemerintah maupun dari DPR RI sebagai badan legislatif yang seharusnya mengawasi pelaksanaan proyek ini. Situasi ini memberi ruang bagi pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan dan dana, sehingga korupsi dapat terjadi secara sistemik dan melibatkan berbagai pihak. Kasus korupsi e-KTP ini berdampak luas, baik secara ekonomi maupun sosial. Selain itu, kasus ini memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan dan proyek yang dibiayai negara. Kasus ini juga menyoroti kelemahan dalam tata kelola pemerintahan yang memungkinkan praktik-praktik korupsi terjadi tanpa kendali yang efektif.

Putusan Pengadilan

Pengadilan Tipikor telah memutuskan berbagai hukuman bagi para terdakwa menjadi simbol komitmen KPK dan peradilan dalam memberantas korupsi besar yang melibatkan aktor-aktor politik dan birokrasi. Irman dan Sugiharto, sebagai dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, dijatuhi hukuman penjara, denda serta penggantian kerugian negara. Setya Novanto, sebagai salah satu tokoh utama dalam kasus ini, juga dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, penggantian kerugian negara, hak politik dicabut selama 5 tahun setelah menjalani hukuman. Andi Narogong (Rekanan Swasta) dijatuhi hukuman penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan pertimbangan pejabat DPR dan Kemendagri. Hukuman-hukuman ini mencerminkan upaya pengadilan dalam memberikan efek jera bagi para pelaku, meskipun tantangan dalam pemberantasan korupsi tetap besar.

Hal ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi di level bawah, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem yang melibatkan pengambil kebijakan strategis. Kerugian Rp2,3 triliun menunjukkan betapa seriusnya dampak korupsi terhadap pembangunan nasional, termasuk pelayanan publik seperti administrasi kependudukan. Vonis pengadilan atas pelaku utama dan beberapa pihak lain menegaskan pentingnya pemberantasan korupsi yang konsisten. Meski tantangan tetap ada, kasus ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik korupsi sistemik di Indonesia. Kasus e-KTP mengingatkan kita akan bahaya korupsi yang tidak hanya mencuri uang negara tetapi juga mencuri kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. Oleh karena itu, KPK terus bekerja untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara.

Korupsi di Indonesia : Penyebab dan Solusinya

Korupsi dapat terjadi karena beberapa faktor seperti tradisi patronase, di mana individu menggunakan pengaruh politik untuk memberikan keuntungan kepada kerabat atau kolega, telah mengakar di banyak institusi. Hal ini membuat sistem meritokrasi sulit berkembang. Banyak lembaga publik belum memiliki sistem transparansi yang baik. Minimnya pengawasan memungkinkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang sering terjadi karena lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal. Pegawai negeri sering kali menghadapi ketimpangan antara gaji rendah dan tuntutan hidup yang tinggi, sehingga mendorong mereka mencari pendapatan tambahan melalui cara ilegal. Penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek jera menjadi faktor pendorong praktik korupsi.

Mencegah Korupsi

Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan proses pengadaan barang dan jasa. Klitgaard menekankan pentingnya membuka akses informasi kepada publik agar masyarakat dapat membantu kepastian pengawasan penggunaan anggaran dan kebijakan pemerintah.  Transparasi ini mempersulit pelaku untuk menyembunyikan tindakan korupsi. Mengurangi peluang korupsi dengan melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh. Penggunaan teknologi informasi dalam administrasi publik dapat meminimalkan interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, sehingga mengurangi peluang penyalahgunaan kekuasaan. Menghapus monopoli dalam pengadaan barang dan jasa melalui tender terbuka memungkinkan semua pihak berpartisipasi. Hal ini mengurangi peluang terjadinya kolusi antara pejabat dan penyedia barang. Pemerintah dapat memperkuat pengawasan internal dan eksternal melalui lembaga seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat daerah. Sistem ini mencegah pejabat memiliki otoritas yang tidak diawasi. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan pentingnya integritas melalui pendidikan. Program-program pendidikan anti-korupsi di sekolah dan komunitas dapat membentuk sikap masyarakat yang menolak praktik korupsi serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengawasan publik terhadap pemerintah.

Mengobati Korupsi : Penguatan Penegakan Hukum

Ketika korupsi sudah terjadi, langkah kuratif diperlukan untuk mengobati dampak yang ditimbulkan. Ini mencakup tindakan hukum yang tegas, sistematis, dan pemberian efek jera. Memperkuat lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dapat bertindak secara independen dan profesional dalam fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk menanangani kasus korupsi. Setiap kasus korupsi harus ditangani tanpa pandang bulu, termasuk yang melibatkan pejabat tinggi. Klitgaard menekankan bahwa tanpa penegakan hukum yang efektif, upaya pencegahan tidak akan cukup. Mendorong masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi dengan menyediakan sistem pelaporan yang aman dan memberikan perlindungan bagi pelapor (whishtleblowers). Ini akan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi individu untuk melaporkan tindakan korupsi. Teknologi seperti analitik data besar (big data analytics) dapat digunakan untuk mendeteksi pola pengeluaran yang mencurigakan di anggaran pemerintah. Ini membantu mengidentifikasi korupsi sebelum meluas. Menerapkan sanksi yang berat bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera. Sanksi harus diterapkan secara konsisten dan tidak pandang bulu, tanpa memandang jabatan atau status sosial pelaku. Selain menghukum pelaku, langkah pemulihan aset negara melalui asset recovery harus menjadi prioritas. Contohnya adalah upaya kerja sama internasional dalam melacak aset hasil korupsi yang disembunyikan di luar negeri.

Menghilangkan Korupsi : Reformasi Sistemik dan Budaya

Menghilangkan korupsi secara menyeluruh terhadap sistem dan budaya memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Mengubah pandangan masyarakat tentang korupsi melalui kampanye kesadaran yang luas. Masyarakat harus diajarkan bahwa korupsi bukanlah hal yang wajar, melainkan tindakan yang merugikan semua pihak. Sistem birokrasi yang efisien dan transparan mengurangi celah korupsi. Upaya ini meliputi penghapusan prosedur yang berbelit, peningkatan gaji pejabat publik untuk mengurangi insentif korupsi, serta rotasi jabatan untuk meminimalkan kolusi. Memperkuat lembaga-lembaga yang berfokus pada pencegahan dan pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini harus diberikan dukungan yang cukup dari pemerintah dan masyarakat untuk menjalankan tugasnya secara efektif. Akuntabilitas dapat ditingkatkan dengan mempublikasikan laporan keuangan pemerintah secara rutin dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan proyek-proyek publik. Program seperti anggaran partisipatif (participatory budgeting) telah diterapkan di beberapa daerah dengan hasil yang positif. Korupsi sering kali dipandang sebagai "budaya" yang sulit dihilangkan. Kampanye publik yang berkelanjutan, pengenalan sanksi sosial bagi pelaku korupsi, dan promosi nilai-nilai integritas dapat membantu mengubah persepsi ini. Mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pengambilan keputusan. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan, diharapkan akan tercipta sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media memiliki peran penting dalam memantau, mengungkap, dan mengadvokasi upaya antikorupsi. Kolaborasi ini memperluas jangkauan pengawasan dan meningkatkan kesadaran publik. Dengan fokus pada kekuasaan, peluang, dan niat, langkah-langkah strategis dapat diambil untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi. Komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga penegak hukum, sangat penting dalam mewujudkan tujuan ini.

KESIMPULAN

Korupsi di Indonesia adalah masalah yang sangat kompleks dan berakar dalam, mencakup berbagai aspek sistemik, struktural, serta perilaku individu. Dengan dampak yang merugikan ekonomi, sosial, dan moral bangsa, korupsi telah menjadi tantangan utama yang menghambat pembangunan berkelanjutan. Melalui penerapan teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna, kita dapat memahami secara mendalam bagaimana korupsi terjadi, apa saja faktor penyebabnya, dan bagaimana solusinya dapat dirumuskan. Teori Klitgaard dengan formula C = D + M - A memberikan penekanan pada pentingnya memperbaiki sistem untuk mengurangi risiko korupsi. Diskresi yang berlebihan, monopoli kekuasaan, dan rendahnya akuntabilitas adalah elemen-elemen utama yang memungkinkan korupsi berkembang. Di sisi lain, teori Bologna melalui pendekatan GONE (Greed, Opportunity, Need, Environment) menyoroti faktor individu dan lingkungan, yaitu keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan budaya organisasi yang permisif. Kombinasi kedua teori ini memberikan kerangka analisis yang komprehensif untuk memahami dan menangani masalah korupsi. Melalui analisis studi kasus, seperti korupsi E-KTP dan Jiwasraya, terlihat bahwa kelemahan sistem pengawasan, konsentrasi kekuasaan, kurangnya transparansi, dan budaya permisif menjadi penyebab utama korupsi di Indonesia. Di sisi lain, tekanan individu seperti kebutuhan mendanai kampanye politik, mempertahankan gaya hidup mewah, atau memenuhi tuntutan kelompok tertentu semakin memperburuk situasi. Kasus-kasus ini mencerminkan bagaimana korupsi menjadi hasil dari kombinasi antara sistem yang lemah dan perilaku individu yang oportunis. Namun, meskipun tantangan besar dalam memberantas korupsi terlihat sangat kompleks, solusi tetap dapat dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Langkah-langkah seperti penguatan akuntabilitas, transparansi, dan reformasi birokrasi menjadi fondasi utama untuk mengatasi kelemahan sistemik. Implementasi teknologi, seperti e-procurement dan e-budgeting, dapat meminimalkan peluang monopoli kekuasaan dan diskresi yang berlebihan. Penegakan hukum yang tegas, dengan hukuman berat bagi pelaku korupsi, juga menjadi elemen penting untuk menciptakan efek jera yang nyata. Di sisi lain, reformasi budaya organisasi dan masyarakat adalah langkah krusial yang tidak boleh diabaikan. Membangun budaya anti-korupsi melalui pendidikan, kampanye kesadaran publik, dan penanaman nilai-nilai integritas di tempat kerja dapat memberikan dampak jangka panjang dalam mencegah korupsi. Dalam hal ini, pelibatan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat sipil, sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan dari atas ke bawah, tetapi juga dari bawah ke atas. Karena itu, langkah-langkah ini tidak akan berjalan tanpa menghadapi tantangan. Resistensi dari pihak-pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari korupsi, rendahnya partisipasi masyarakat, dan kompleksitas jaringan korupsi menjadi hambatan utama yang harus diatasi. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen yang kuat, konsistensi, dan sinergi antara berbagai pihak yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.

Sitorus, T. (2019). "Analisis Korupsi di Indonesia: Tinjauan Teori Klitgaard". Jurnal Antikorupsi Indonesia, 12(2), 45-55.

Badan Pemeriksa Keuangan. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Tahun Anggaran 2022.

United Nations Development Programme (UNDP). (2016). Corruption and Development: A Practical Guide.

Prasetyo, B. (2019). "Monopoli, Diskresi, dan Akuntabilitas: Implementasi Model Klitgaard dalam Memahami Korupsi di Indonesia." Jurnal Administrasi Publik, 13(2), 45-56.

Indonesia Corruption Watch (ICW). (2022). "Laporan Pemantauan Kasus Korupsi."

Liputan6.com. (2023). Cara Mengatasi Korupsi di Indonesia, Kenali Faktor Penyebabnya.

Andvig, J. C., & Fjeldstad, O. H. (2001). Corruption: A Review of Contemporary Research. CMI Report

Olken, B. A. (2007). Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia. Journal of Political Economy, 115(2), 200-249.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun