Di tengah kemacetan seluruh sektor di tengah pandemi, kenapa DPR muncul sebagai lembaga negara yang seolah paling produktif dalam membahas dan mengkaji masalah Cipta Kerja? Tentu ini akan menjadi titik subkoordinat awal dari semua kontroversi pengesahan kali ini.Â
Di mana aspirasi yang dulu mulai diresahkan, kini benar-benar dijegal. Mau sampai kapan demokrasi di negeri ini akan tertatih-tatih dan pincang? Kepada siapa rakyat mengadukan ini semua?
Wakil rakyat seolah menjadi hal yang ambigu setelah bukti-bukti di lapangan sangat kontra dengan aspek awal konstitusi itu sendiri.
Jika kita mau mengacu pada amanat perundang-undangan, sebagaimana yang tertuang dalam (UU) Nomor 15 tahun 2019, maka garis besarnya ialah Peraturan Perundang-undangan harus sarat akan filosofi, yuridis, dan sosiologis.Â
Kemudian, coba kita membingkai ketiga aspek dengan realita.
Jika dilihat dari filosofinya saja, ruh awal atau semangat UU ini kurang begitu mengharmonisasi pada sistem perundang-undangan, tapi lebih condong investasi. Tentunya secara otomatis kita langsung menuju pada kapitalis.Â
Kedua, dalam aspek sosialisnya, di tengah keresahan masyarakat di masa Covid-19, butuhkah masyarakat dengan kemunculan UU ini, walau secara sepihak masyarakat sangat diuntungkan? Tentu tidak bukan? Apalagi dengan semua kerancauan ini, secara materiilnya terlalu memihak investor-investor.
Selanjutnya, jika kita menimbang dengan isi UU Cipta Kerja, seolah ada penghambaan terhadap pemodal. Sebab substansi UU tersebut lebih memudahkan dan memberi perlindungan dalam berinvestasi, otomatis ketika kita bicara investasi, maka sudah jelas akan identik dengan materiil.Â
Maka dengan arus demonstran, itu menandakan kewajaran akan kejanggalan yang kurang diperhatikan dalam arus birokrasi ketatanegaraan. Di sini, DPR merupakan pusat yang akan menjadi penanggung jawab atas semua kegaduhan, sebagai representasi badan legislasi nasional.Â
Akhir-akhir ini, masyarakat kurang, bahkan sama sekali tidak, menaruh respek kepada lembaga legislasi ini. Sebab semakin banyaknya kerancauan dan ketidakjelasan mekanisme dalam   menyelesaikan suatu problem.Â
Lantas, ketika peran awal sebagai wakil rakyat sudah tergerus, untuk apa lagi negara ini harus mempertahankan DPR?