Sepeninggal Mak Ijah. Tari tidak tidur, dia duduk termenung menatap sebuah kotak yang tadi Azmi berikan.
"Apakah Abang sungguh-sungguh." Tari tersenyum, dengan perlahan dia membuka kotak itu dan alangkah terkejutnya tari karena isi dari kotak itu bukan cincin ataupun perhiasan lainnya, pun bukan uang.
Namun, secarik kertas yang di lipat. Tari mengerutkan kening, "ini apa? Apa Bang Azmi menulis surat!" Tari tersenyum karena membayangkan kekonyolan Azmi.
Dengan perlahan Tari membuka kertas tersebut, "Ini!"
Tari menutup mulut, air mata yang sudah menggenang diujung mata membuat penglihatannya kabur dan akhirnya membasahi pipi.
"Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Bang. Apa kamu sengaja dengan semua ini," Tari menutup mulut supaya isaknya tidak terdengar Mak Ijah.
"Kalau dia seperti itu, kenapa kamu tidak bisakah melepaskanku dan membuat aku tenang, Bang" Tari meremas kertas itu dan terisak di atas bantal. Dia sungguh sakit hati dan itu kembali seperti dulu.
Di tempat lain Azmi tengah menunggu seorang wanita yang tengah terbaring. Dia ingin segera melihat wanita itu bangun dan minta penjelasan dengan barang yang dia temukan di tas miliknya.
Tidak lama, wanita itu membuka mata perlahan dan menatap sekeliling.
"Kamu sudah sadar, Sa?" terdengar kawatir dari Ibu Pranoto.
"Ibuuu, ini di mana?"
"Di rumah sakit. Tadi kamu pingsan, Sa. Untung tidak apa-apa. Kamu itu salah makan apa bagaimana? Sampai bisa pingsan."
"Abang mau tanya_"
"Azmiii, bisa tidak bicaranya nanti saja, Nak. Sasa baru sadar."
"Tidak!" Azmi kembali menatap Sasa yang terlihat bingung.
"Kenapa cincin lamaran ini ada di tas kamu?" Azmi memperlihatkan kotak yang terbungkus kain merah.
Sasa terkejut, "itu bukan punya abang, itu isinya surat_"
Azmi menatap Sasa dengan tajam. "Apa itu kehamilanmu?"
Sasa mengangguk pelan.
"Aaggh!" Azmi menjatuhkan tiang infus, membuat ibu Pranoto terkejut dan Sasa terkejut.
"Apa kamu sengaja! Jawab, aku Sa!" Azmi sudah tidak tahan dengan kepura-puraan Sasa. Dulu dia masih memakluminya, tapi sekarang, tidak lagi..
"Jawab, aku SASA NURIANA!" Azmi kembali berteriak.
Sasa terkejut, pasalnya baru kali ini Azmi semarah itu padanya.
"Kamu tega sekali, Sa! Mulai dari sekarang, jangan harap aku perhatian lagi padamu!"
"Bang Azmi!" Sasa hendak turun dan mengejar Azmi, tapi ibu mencegah.
"Sebaiknya kamu istirahat, biar ibu yang bicara dengan Azmi."
"Tapi, Bu." Ibu Pranoto menggeleng dan pergi meninggalkan Sasa.
"Sebenarnya, ini ada apa, Nak?" Ibu Pranoto mengusap punggung Azmi yang tengah menunduk.
"Ibu tahu, apa yang dilakukan Sasa?" Azmi menatap sang Ibu dan memberikan kotak itu.
"Itu kotak cincin lamaran Azmi, Bu. Dan ibu tahu, tadi Azmi memberikan kotak yang isinya surat kehamilan Sasa. Apa ibu sadar, kalau kotak itu Tari buka dan membaca isi surat tersebut, apa yang akan Tari pikirkan tentang Azmi yang melamar dia terburu-buru."
"Kenapa kamu berpikiran sejauh itu, Nak. Mungkin saja_"
"Tari tahu, kalau Azmi tidak punya hubungan darah dengan Sasa. Dan asal Ibu tahu, dulu pun Tari meninggalkan Azmi karena Sasa bilang kalau dia ingin hidup dengan Azmi."
Ibu Pranoto terkejut mendengar pakta tersebut. Awalnya dia memang menginginkan Sasa jadi anak sekaligus menantunya. Tapi ketika melihat kelakuannya, dia menutupnya dan langsung mendukung ketika Azmi meminta melamar Tari.
"Azmi harus segera menemui Tari, Bu. Supaya dia tidak salah paham. Azmi pergi dulu."
"Tapi ini sudah malam, Nak. Tidak baik bertamu tengah malam. Bagaimana kalau_"
"Apa Ibu punya Nomor_"
"Ini. Coba kamu hubungi dulu dia."
Azmi mengangguk, pergi mencari tempat yang tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H