"Ya ampun Sasa!" suara Ibu Pranoto membuat semua orang teralih kan  fokusnya pada wanita yang sudah tergeletak tidak sadarkan diri.
"Ya ampun Sasa!" Azmi langsung memburu wanita itu, tanpa memedulikan Tari.
Tari tersenyum, "semua terulang kembali. Ternyata bagimu dia yang paling penting."
"Cepat masukkan ke_"
"Kursi! Baringkan dia di kursi. Tari ambilkan dulu minyak angin."
Mak Ijah terdiam ketika Tari melarang untuk dibaringkan di kamarnya. Biasanya dia selalu minta seperti itu, ketika melihat orang lain kesusahan. Tapi mengapa ini, seperti ada sesuatu yang aneh pada anaknya. Dia penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.
"Mak, mungkin acaranya dilanjutkan besok saja, ya. Kami akan membawa Sasa pulang saja." Ibu Pranoto menatap Mak Ijah bersalah.
"Oh, ya. Tidak apa. Silakan saja, kesehatannya lebih penting."
"Bener, Mak. Dia anak kurang sehat, dan cukup lemah. Kalau begitu kami pamit dulu." Keluarga Azmi akhirnya pulang, begitu pun dengan orang-orang yang datang.
Mereka pergi meninggalkan rumah Mak Ijah tanpa banyak bicara dan meninggalkan dua orang pemilik rumah.
"Mak mau bicara, boleh?" Mak Ijah berdiri di depan pintu kamar anaknya.