Jika dibandingkan dengan Concacaf yang baru terbentuk tahun 1961, tentu amat jauh bedanya. Dalam urusan ini, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Karibia mesti menaruh hormat kepada saudara mereka di belahan selatan benua Amerika.
Dengan kiprah yang sedemikian lama, tentu saja memberi pengaruh signifikan bagi perkembangan sepak bola para anggotanya.
Pelbagai kondisi itu bikin kita tak heran melihat dominasi negara-negara Amerika Selatan di dalam setiap perhelatan sepak bola. Di Copa America 2024, peta delapan besar tampak sangat jomplang.
Menatap Secercah Sinar di Kejauhan
Menyaksikan para jagoan bola berjaya tentu menggembirakan. Menyimak sejarah dan kedigdayaan mereka di penyisihan grup, bisa jadi Argentina bertemu Uruguay sebagai partai final ideal.
Namun, mendapatkan kejutan tak terduga juga bisa menjadi kenangan yang bakal tersimpan lama.
Bayangkan jika Kanada mampu mengatasi Venezuela, lalu melibas Argentina atau Ekuador di kesempatan berikutnya. Betapa akan geger jagat sepak bola dibuatnya.
Atau, di bagian lainnya, Panama sanggup memulangkan Kolombia, lantas menjungkalkan Brazil atau Uruguay di laga selanjutnya. Kegemparan pun bakal menimpa penduduk dunia.
Di belahan bumi lain, ada suatu negara yang pernah mengukir sejarah yang amat sulit diterima nalar siapa pun yang berpikiran rasional. Pada 1992, Denmark yang datang ke Swedia dengan skuad "sekadarnya" dan bertindak sebagai "ban serep" menggantikan Yugoslavia, berhasil membawa pulang Piala Eropa.
Sebenarnya, saya turut merasakan apa yang tersimpan dalam hati banyak warga Kanada dan Panama. Barangkali, mereka sedang memendam perasaan serupa dengan kebanyakan masyarakat bola Indonesia.
Serupa dengan penduduk Kanada dan Panama, jantung kita di Indonesia mungkin juga berdegup lebih kencang dibandingkan sebelumnya. Kita pun berharap muncul keajaiban dalam putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.