Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Ucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri"

12 April 2024   14:51 Diperbarui: 12 April 2024   14:52 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak gadis. Sumber gambar: Mila Okta Safitri dari Pixabay.

Bukannya ceria menyambut Lebaran, sejak semalam Laras malah uring-uringan. Macam-macam urusan yang tampak sepele sontak berubah menjengkelkan.

Rasanya baru saja berlalu gerutuannya mengenai baju baru yang nggak rapi meskipun telah disetrika berkali-kali. Eh, kini sudah beralih lagi sumber kejengkelannya. Kali ini, gadis yang baru menjalani semester kedua masa kuliah itu mengeluhkan sandalnya yang raib sebelah.

Entah siapa tidak punya pekerjaan, malah ngerjain anak yang lagi nggak genah itu. Mungkin juga kucing milik tetangga depan rumah.

Memang, Bulik Siti memelihara beberapa ekor kucing dengan berbagai rupa. Aku tak hafal jenis-jenis kucing miliknya, karena aku bukan penggemar binatang.

Lagipula, untuk apa juga aku mesti menelisik macam-macam kucing milik orang lain. Mikirin adik bungsu yang sedang belagu saja sudah bikin pusing kepala.

Anak sableng itu sedang bermasalah dengan sesuatu. Namun, tak ada satu pun anggota keluarga yang tahu.

Anaknya sendiri terus membisu saat ditanya apa gerangan urusan kusut yang telah membelenggu hati dan pikirannya.

Kalau soal pertanyaan kapan nikah, enggak ada, kok, orang usil nanyain ke dia.  Lagian, Laras masih unyu.

Jika ada yang usil melontarkan pertanyaan "sadis" itu, tentu saja aku lebih pantas menjadi korbannya. Namun, jangankan Laras, aku sendiri tidak diganggu dengan urusan sensi itu.

Apa mungkin urusan kuliah yang telah mengganggu ketenangan hidupnya? Siapa tahu, namanya mahasiswi baru, belum bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus atau sekitaran tempat kosnya di Kota Gudeg sana.

"Eh, kamu ini, ya. Udah dibilangin tetep ngeyel terus!"

Tiba-tiba saja terdengar omelan si bungsu dari dalam kamar yang digunakan bersama dua sepupunya. Entah siapa yang kali ini bikin gara-gara.

Kedua saudara sepupu Laras telah berangkat ke masjid beberapa menit lalu. Mereka tak menghiraukan lagi gerutuan sepupunya dan memilih menyingkir selekas mungkin.

Waktu sudah mendekati jam enam pagi. Salat Id bakal digelar tak lama lagi. Di depan rumah pun, orang-orang terlihat bergegas menuju masjid kampung sekitar tiga ratus meter jaraknya dari sini.

Kakek, nenek, dua pakde dan dua bude serta anak-anak mereka mungkin sudah duduk manis di dalam atau pelataran masjid. Ayah, ibu, dan seorang adikku menyusul tak lama kemudian, meninggalkan diriku yang diminta mengurusi adik bungsuku yang sedang didera perkara entah apa.

Mereka semua mungkin sedang menikmati atau mengikuti takbir yang terus berkumandang dan sayup-sayup terdengan dari sini.

Kini, di rumah kakek nenek kami, tinggal kami berdua menahan kejengkelan masing-masing. Bisa saja kutinggalkan Laras sendirian dengan setumpuk gerutuan yang terus meluncur dari bibirnya.

Namun, bila hal itu kulakukan, aku sendiri yang bakal tertimpa kerugian. Tak akan ada lagi kepercayaan orang tua bagi anak sulungnya ini.

Jadi, bagaimanapun kisahnya, aku harus mampu menaklukkan kebengalan yang dipertunjukkan Laras sejak malam tadi.

Boleh juga singgah dan menikmati sajian tentang tidak pernah menunggu adzan selama bulan Ramadan.

Teriakan Laras sempat hendak menaikkan temperatur darah yang mengalir dalam nadiku. Untunglah, latihan kesabaran sebulan penuh sepertinya mampu mencegah suhu darah terus bertambah. Alhamdulillah, setidaknya hingga saat ini, aku masih mampu menahan gemeletuk tidak menerpa gigi-gigiku.

"Ras," ujarku mencoba mengaplikasikan pesan ustaz perihal menjaga kesabaran, "Siapa, sih, si tukang ngeyel itu?"

Eh, ternyata kali ini pancinganku mengena.

"Kenapa semua orang mendadak bandel, ya?" Ia menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan pula.

"Emang gimana, sih, bandelnya?" tanyaku lagi tak hendak melepaskan kesempatan emas ini.

"Nih, lihat sendiri," ujarnya ketus sembari menyodorkan gawainya, "Ngapain, sih, bolak-balik bilang 'Selamat hari raya Idul Fitri'?!"

Aku urung menerima sodoran hape-nya. Aku merasa ada kernyit di jidatku.

"Apa salah mereka, Ras? Semua orang sedang bergembira merayakan Lebaran dengan ucapan-ucapan semacam itu."

"Ah, ternyata Mbak Norma sama saja dengan mereka."

Jangan-jangan tidak punya teman curhat anak ini. Soalnya aku pernah baca, kesepian merupakan salah satu faktor pemicu gangguan jiwa. Sungguh, tak habis pikir aku dengan kedongkolan adikku yang jelas mengada-ada.

"Makanya, belajar bahasa Indonesia yang benar," ia melanjutkan ucapannya tanpa kuminta, "Idul atau id itu berasal dari kata 'id dalam bahasa Arab."

"Terus ngapain kamu uring-uringan? Emang gaboleh ngomongin kata-kata dari Arab?"

"Lah, bukan soal boleh atau nggak boleh," ujarnya segera menyambar kalimatku, "Lihat dulu artinya."

Aku diam tak mengerti maksud ucapannya. Kubiarkan saja ia melanjutkan kata-katanya.

"Mbak, lihat kamus, nih," ujarnya sembari menyodorkan kembali gawainya.

Kali ini kuterima perangkat pintar itu. Kulihat KBBI daring tersibak di layarnya. Di kolom pencarian, tertulis lema 'id' dan di bawahnya muncul makna dan penjelasan lainnya.

Aku melihat kamus itu mengartikan kata id sebagai 'hari raya'. Lantas apa?

Ah, baru paham aku kini. Berarti banyak orang berlebihan selama ini.

Sudah ada 'hari raya', mengapa ditambah 'hari raya' lagi? Jadinya ganda, kan, hari rayanya?

Namun, tetap saja aku tak habis pikir dengan sikap adikku. Untuk urusan seremeh itu, kenapa ia harus menyiksa diri dan nyusahin banyak orang lain?

Siapa sebenarnya yang melewah?

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Jamaah salat Id yang dirahmati Allah ...."

Sayup-sayup, aku mendengar marbut menyampaikan pengumuman lewat pengeras suara masjid. Sebentar  lagi tentu ikamah bakal digemakan.

Kusambar lengan adikkku. Setelah mengunci pintu, setengah berlari kami menuju satu-satunya masjid di kampung kakekku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun