Jika saat itu saya memegang sebuah cermin, saya yakin bakal melihat seraut wajah merah padam terbakar malu.
Sebuah memori buruk kembali membayang ketika saya menjumpai tren perbincangan menyangkut kepramukaan. Kejadian di masa belia yang bikin langit serasa akan runtuh itu memang "melibatkan" Pramuka.
Maling Berseragam Pramuka
"Heh, Pramuka kok nyolong jambu. Apa ndak malu?!"
Begitulah cara seorang wanita setengah baya membikin saya kehilangan muka. Ia meneriakkan kalimat itu dan mengarahkan ucapannya pada saya dan seorang teman saya.
Memang, kami telah melakukan perbuatan tidak pantas. Tidak salah juga ia mengucapkan kalimat tak sedap itu.
Lantas, mengapa ibu-ibu itu membawa-bawa nama Pramuka? Apakah rupa gerakan berlambang cikal kelapa itu memang tidak bagus di mata masyarakat kita?
Rasanya, sah-sah saja nama Pramuka terbawa-bawa. Memang, ketika itu, kami sedang (merasa) gagah-gagahnya lantaran tubuh kami berbalut seragam kebanggaan. Kami berdua sedang berseragam coklat-coklat dengan halsduk merah-putih melingkar di leher saat peristiwa memalukan itu berlangsung.
Setelan Pramuka lengkap dengan segala pernak-perniknya melekat di tubuh kami yang belepotan keringat. Pasalnya, sore hari itu, kami baru kelar mengikuti kegiatan kepramukaan yang menyenangkan.
Sayang sekali, keceriaan dua bocah anggota Pramuka harus berakhir lebih cepat. Penyebabnya tiada lain nafsu yang enggan meredup tatkala penglihatan bertemu dengan sesuatu yang menggiurkan.
Lebih parah lagi, selain berseragam komplit, kami menggunakan sebuah "senjata" Pramuka sebagai sarana kejahatan. Sebilah tongkat bambu kuning telah digunakan dengan tidak semestinya.
Kawan sekampung saya memanfaatkan perlengkapan standar anggota Pramuka itu untuk membantu upayanya menjolok buah jambu milik tetangga. Buah ranum dan gendut berjuluk jambu bangkok itu terlihat menyembul dari atas dinding pagar rumah warga kampung sebelah.
Pada masa itu, tanaman jambu bangkok sedang digandrungi, dan menyantap buahnya menimbulkan sensasi tersendiri.
Namun, malang tak dapat ditolak. Sekonyong-konyong, di tengah upaya teman saya yang belum membuahkan hasil, dari balik dinding muncul seraut wajah meradang. Dan, kisah selanjutnya terekam dengan sempurna dan terus mengeram dalam ingatan entah sampai kapan.
Dua Kesan Berlawanan tentang Kepramukaan
Kini, saya mengenang peristiwa terkait kegiatan ekstrakurikuler yang kini menjadi polemik itu dalam dua perasaan yang berlawanan.
Pertama, kejadian itu meninggalkan rasa malu yang nggak ketulungan. Sebabnya, selain malu sebagai pribadi, saya merasa telah "mencederai" nama baik gerakan Pramuka yang tentu saja mengajarkan nilai-nilai mulia.
Kedua, setelah saya renungkan, peristiwa itu justru mengindikasikan adanya kesan bagus dari masyarakat terhadap gerakan kepanduan.
Lho, Pramuka nyolong, kok dibilang bagus itu dari mana rumusnya?
Saya menangkap ucapan sang ibu sebagai wujud pemahamannya yang positif tentang gerakan Pramuka. Kesan baik terhadap gerakan yang tengah menjadi sorotan masyarakat itu jelas terasa dari kalimat yang diucapkannya.
Secara tidak langsung, ia menyatakan bahwa gerakan Pramuka itu baik. Dengan mengikuti gerakan Pramuka yang baik, (seharusnya) orang berperilaku baik.
Dengan gambaran semacam itu, ia sangat heran menyaksikan seorang anggota Pramuka melakukan perbuatan tidak terpuji.
"Seharusnya anggota Pramuka berperilaku baik, bukan malah mencuri." Saya membayangkan hati sang ibu melanjutkan ucapannya dengan kalimat itu.
Seandainya si pencuri jambu Bangkok miliknya bukan seorang anggota Pramuka, barangkali reaksi sang ibu tidak segarang itu. Reaksinya menunjukkan bahwa bagi dirinya gerakan Pramuka terlalu "suci" untuk dinodai anggotanya dengan tindakan melawan hati nurani.
Nah, bagaimana sekarang? Apakah gerakan Pramuka masih perlu diwajibkan atau cukup menjadi pilihan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H