Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Momen Kocak Idul Fitri akibat Senjang antar Generasi

5 April 2024   17:07 Diperbarui: 5 April 2024   17:10 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehidupan di desa. Sumber gambar: Shutterstock via Kompas.

Maksud hati sang kakek khusyuk berdoa, eh wajah cucunya merah padam menahan geli lantaran doanya kocak nggak ketulungan.

Doa simbah-simbah alias kakek-nenek di kampung halaman telah menjelma sebagai salah satu kenangan terlucu sepanjang masa. Kekocakan itu muncul akibat senjang informasi antargenerasi yang jauh berbeda.

Begini kisahnya.

Usai  bersimpuh di hadapan Emak, kami serombongan  keluarga besar segera beranjak menuju para tetua dalam silsilah keluarga. Sebuah aktivitas yang lumrah terjadi di hari Idul Fitri.

Barisan tetua di kampung kami meliputi beberapa orang paman dan bibi dari pihak almarhum Bapak dan dari pihak Emak. Kami tak lagi bisa menemui generasi yang lebih awal lantaran kakek-nenek telah lama menghadap Yang Mahakuasa.

Kondisi Stagnan yang Selalu Dirindukan

Ritual yang kami lakukan nyaris seragam dari satu rumah ke rumah lain. Salam pertemuan, saling bertanya kabar, ngobrol pelbagai urusan, tuan rumah menawarkan hidangan dan tamu bilang "nggih" (artinya: ya) tapi tidak mengambil penganan, dan seterusnya.

Pengulangan itu terus-menerus terjadi dari satu rumah ke rumah lain, dan dari tahun ke tahun. Hampir tak ada perubahan.

Namun, kondisi "stagnan" semacam itu terus diburu saban Lebaran. Yah, memang kami mudik tidak berharap menonton konser musik atau pertunjukan teater yang sarat kreasi baru setiap waktu.

Kami hendak sungkem saja. Bagaimanapun bentuknya, sungkem di pangkuan para pinisepuh (orang-orang yang dituakan) menumbuhkan aura positif yang adakalanya tak disangka-sangka.

Menyambung silaturahmi dengan sanak famili adalah sebuah kewajiban yang mesti lestari. Kesederhanaan orang-orang tua di desa yang tak lekang dimakan usia juga ada maknanya sendiri. Kami berharap sikap bersahaja mereka mampu sedikit meredam silaunya kemeriahan dunia bagi anak-anak muda.

Setelah melalui berbagai pengulangan, akhirnya tiba juga pada prosesi unik yang menjadi puncak cerita ini.

Pada momen sakral ini, para tetua biasanya duduk di sebuah kursi. Lalu, satu per satu anak cucu keturunan mereka menghampiri.

Setelah kami memulai, tibalah giliran anak-anak dan para keponakan kami.

Seorang keponakan berjongkok dan mengulurkan kedua lengannya dan meraih tangan-tangan keriput di hadapan mereka. Anak "kota" itu memulai dengan permohonan maaf kepada orang yang lahir ke dunia semasa dirinya masih berwujud entah apa.

Seakan-akan layar panggung tersingkap, pertunjukan "komedi" pun terselip di tengah-tengah prosesi syahdu semacam ini.

"Le, tak dongak-dongakke mengko nek wis gedhe iso dadi dokter, yo," harap paman kami itu bagi cucunya. Rupanya, sang kakek mendoakan cucunya menjadi dokter.

Sang cucu berusaha tetap khusyuk meskipun terlihat cukup repot menahan geli. Lah, bagaimana tidak geli?

Ada Fakultas Teknik Bisa Menghasilkan Tentara?

Saat itu sang cucu yang bersimpuh di hadapannya tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Bagaimana ceritanya seorang rektor kelak mewisuda lulusan Fakultas Ilmu Sosial menjadi seorang dokter?

Tentu saja kami sangat memaklumi kondisi para tetua. Keterbatasan membuat harapan mereka tak mungkin melintasi sekian generasi.

Maklumlah, mereka tak mengenal Fakultas Ekonomi atau jurusan Teknik Geodesi. Bagi mereka, masa depan yang cerah bagi anak-anak dan cucu-cucu terletak pada orang-orang berkalung stetoskop yang menggenggam jarum suntik di tangannya.

Alternatif lainnya pun tak bakal jauh melebar dari batas pandangannya.

Mereka hanya mampu membayangkan orang-orang berseragam hijau atau coklat dengan sepucuk bedil bertengger di bahu atau pistol terselip di pinggang. Orang-orang bersenjata itulah wujud profesi yang bisa diharapkan bakal mengangkat kehidupan anak-anak dan cucu-cucu mereka.

Kesederhanaan hidup di desa tak memungkinkan pengetahuan mereka menjangkau profesi-profesi keren semacam Apoteker, Akuntan, atau Desainer. "Itu makanan terbuat dari apa, ya?" barangkali seperti itulah gambaran yang tercetus dalam pikiran mereka.

Sudah barang tentu orang-orang tua itu akan mengelus dada ketika mendengar ada jenis pekerjaan bernama Freelance Writer dan Tiktoker, apalagi Buzzer. Mungkin mereka mengira bahwa profesi-profesi "aneh" itu adalah nama-nama alien dari planet Mars yang hendak menguasai bumi.

Jadi, kakek-kakek dan nenek-nenek di desa itu tak pernah menanyakan pendidikan yang sedang ditempuh ataupun keinginan cucu-cucu mereka. Bisa saja seorang mahasiswa Teknik Kimia diharapkan menjadi polisi. Bukan hal ganjil juga ketika siswa sekolah tataboga digadang-gadang menjadi tentara.

Memang, di kemudian hari, keturunan mereka meniti beragam profesi. Namun, kami tetap meyakini ada andil dari ketulusan yang pernah "dipertontonkan" kaum tua yang tak pernah beranjak dari desa.

Kini, di antara para tetua, tak banyak lagi yang tersisa. Sebagian telah berpulang mendahului kita. Semoga Allah swt mengganjar ketulusan orang-orang sederhana itu dengan sebuah tempat istimewa di sisi-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun