Pada momen sakral ini, para tetua biasanya duduk di sebuah kursi. Lalu, satu per satu anak cucu keturunan mereka menghampiri.
Setelah kami memulai, tibalah giliran anak-anak dan para keponakan kami.
Seorang keponakan berjongkok dan mengulurkan kedua lengannya dan meraih tangan-tangan keriput di hadapan mereka. Anak "kota" itu memulai dengan permohonan maaf kepada orang yang lahir ke dunia semasa dirinya masih berwujud entah apa.
Seakan-akan layar panggung tersingkap, pertunjukan "komedi" pun terselip di tengah-tengah prosesi syahdu semacam ini.
"Le, tak dongak-dongakke mengko nek wis gedhe iso dadi dokter, yo," harap paman kami itu bagi cucunya. Rupanya, sang kakek mendoakan cucunya menjadi dokter.
Sang cucu berusaha tetap khusyuk meskipun terlihat cukup repot menahan geli. Lah, bagaimana tidak geli?
Ada Fakultas Teknik Bisa Menghasilkan Tentara?
Saat itu sang cucu yang bersimpuh di hadapannya tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Bagaimana ceritanya seorang rektor kelak mewisuda lulusan Fakultas Ilmu Sosial menjadi seorang dokter?
Tentu saja kami sangat memaklumi kondisi para tetua. Keterbatasan membuat harapan mereka tak mungkin melintasi sekian generasi.
Maklumlah, mereka tak mengenal Fakultas Ekonomi atau jurusan Teknik Geodesi. Bagi mereka, masa depan yang cerah bagi anak-anak dan cucu-cucu terletak pada orang-orang berkalung stetoskop yang menggenggam jarum suntik di tangannya.
Alternatif lainnya pun tak bakal jauh melebar dari batas pandangannya.
Mereka hanya mampu membayangkan orang-orang berseragam hijau atau coklat dengan sepucuk bedil bertengger di bahu atau pistol terselip di pinggang. Orang-orang bersenjata itulah wujud profesi yang bisa diharapkan bakal mengangkat kehidupan anak-anak dan cucu-cucu mereka.