Komeng nyaleg dan hampir pasti mendapatkan kursi di DPD RI. Sang pelawak piawai memainkan peran menangkap keheranan kaum gumunan.
Bagaimana sikap masyarakat yang gampang terheran-heran menjelma sebagai lumbung suara? Bagaimana pula sumber suara itu menjadi durian yang "meruntuhi" si Uhuy?
Bukan Komeng namanya kalau tidak santuy dan kocak menanggapi ujaran orang. Begitu pun dalam kadarnya selaku calon Senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili provinsi Jawa Barat.
Pelawak yang kondang akan kelakarnya yang spontan itu seperti anomali di tengah-tengah kandidat wakil rakyat umumnya. Kita telah banyak membaca atau menyaksikan berita tentang tingkah sejumlah caleg ajaib (atau justru wajar?) belakangan ini.
Beberapa calon legislatif menarik kembali berbagai "bantuan" yang telah diserahkan kepada masyarakat lantaran "transaksi"-nya tidak menguntungkan. Suara yang diperoleh sang kandidat ternyata tidak sepadan dengan jumlah fulus yang telah digelontorkannya bagi masyarakat.
Fenomena Ganjil Pesohor Tanah Air
Nah, sepertinya Komeng tak terbawa arus. Komedian bernama asli Alfiansyah Bustomi itu berani tampil beda.
Ia mengaku tidak mengeluarkan biaya besar untuk keperluan kampanye pencalonannya sebagai anggota DPD RI. Ajaibnya, ia (berdasarkan angka yang belum disahkan KPU) berhasil mendominasi perolehan suara.
Tanpa dukungan partai dan pengeluaran uang dalam jumlah signifikan, Komeng benar-benar sebuah fenomena yang mengagumkan. Komeng nyaleg nyaris apa adanya.
Andaikata gagal, ia tetap bisa senyum-senyum "nakal". Ia tak perlu membuang-buang waktu berkeliling ke desa-desa memungut kembali semen dan pasir yang telanjur melekat di susunan batu-bata.
Lantas, apa sebenarnya daya tarik aktor iklan yang kini makin sering tampil di layar kaca itu? Benarkah pose anehnya di kertas suara yang bikin gemas banyak orang hingga berbondong-bondong mencoblosnya?
Kita kerap menemukan fenomena-fenomena ganjil berlangsung di sekitar kita. Beberapa tahun silam, media dihebohkan oleh "ulah" salah seorang pesohor kita.
Bukan lantaran menorehkan prestasi sang pesohor menjadi buah bibir hingga namanya melejit di mesin pencari. Kala itu, ia bikin gempar hanya karena tak sanggup melakukan pekerjaan yang "anak kecil aja bisa melakukannya", yakni mengupas buah salak. Anda tentu mengingat sosok ini, bukan?
Kalau Anda belum lahir ketika kehebohan ini terjadi, Anda bisa menikmati sensasi artis gagal mengupas salak dalam tulisan ini.
Komeng Nyaleg Bermodal Sesuatu yang Gimana Gitu
Mengapa urusan-urusan "sepele" semacam itu mampu menggemparkan "jagat persilatan"?
Pertama, tentu saja karena pelakunya seorang yang memiliki popularitas berskala tinggi.
Dampaknya bakal berbeda ketika hal serupa dilakukan oleh Bardi yang kerjaannya menggembala sapi. Saat Bardi tak bisa mengupas salak, rambutan, atau leci, orang-orang tak akan menggubrisnya sama sekali.
Kedua, banyaknya warga masyarakat yang haus hiburan dan mencarinya secara serampangan.
Tak heran bila kegagalan seorang artis dalam aktivitas yang sangat biasa terjadi, menjelma sebagai pertunjukan yang menyenangkan hati.
Pertanyaannya, apakah "keberhasilan" Komeng melangkah ke gedung Dewan mengikuti pola serupa dengan yang terjadi pada sang artis pengupas salak?
Banyak pemilih mengaku terpikat oleh pose ganjil sang kandidat. Untuk sebuah jabatan seserius Senator, foto diri yang menampilkan mata yang sengaja melotot dan posisi kepala miring adalah sesuatu yang gimana gitu.
Kita tahu, sesuatu yang gimana gitu memang banyak diburu. Mengamati komentar-komentarnya seusai pencoblosan, tampak Komeng sengaja menjadikan dirinya sebagai umpan yang segera disergap ikan-ikan kelaparan.
Tentu saja bukan hanya foto nyeleneh Komeng yang menjadi pemikat hati masyarakat. Selain tampilan fotonya yang memang sejalan dengan profesinya, kita tidak pernah mendengar kabar adanya tindakan tak terpuji yang dilakukan si pemain komedi.
Jadi, Komeng tak sekadar menggelitik dengan memajang tampang unik. Ia memiliki seonggok modal berharga yang ditabungnya sejak lama.
Tampilan aneh itu sekadar membuka ingatan akan keberadaan sang komedian. Bisa jadi orang-orang memang menginginkan suasana yang berbeda. Mungkin mereka jemu melihat tampang serius orang yang mengobral janji, dan tak lama kemudian mengingkari dengan sepenuh hati.
Sikap Gumunan "Turun-Temurun"
Sikap gumunan tidak muncul belakangan. Mudahnya terjangkit rasa heran telah mengeram di benak banyak orang sejak lama.
Barangkali, mulut-mulut melongo pertanda rasa heran sudah kerap muncul sejak zaman penulis menerakan karyanya di permukaan batu. Buktinya, sejak dahulu orang-orang sudah mengenal nasihat ringkas ojo gumunan yang kerap dikumandangkan para tetua dalam budaya Jawa. Mungkin, budaya-budaya lain mengenalnya juga dengan istilah-istilah yang berbeda.
Bagaimana mungkin hadir ajakan untuk tidak gampang terheran-heran alias ojo gumunan jika tidak banyak orang terjangkit "virus" gampang terbengong-bengong? Bukankah tak bakal nongol kepulan asap kalau tidak ada api yang menyala?
Seringnya muncul kejadian-kejadian di luar nurul mengindikasikan terpeliharanya sikap gampang merasa heran secara turun-temurun. Dan, kondisi semacam itu merupakan lahan subur yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan kepentingan mereka.
Sepanjang budaya gumunan masih lestari di negeri ini, maka pertunjukan-pertunjukan ajaib akan terus bermunculan tanpa henti. Sepertinya, saat Komeng nyaleg, performanya meroket karena terbantu perilaku semacam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H