Jadi, Komeng tak sekadar menggelitik dengan memajang tampang unik. Ia memiliki seonggok modal berharga yang ditabungnya sejak lama.
Tampilan aneh itu sekadar membuka ingatan akan keberadaan sang komedian. Bisa jadi orang-orang memang menginginkan suasana yang berbeda. Mungkin mereka jemu melihat tampang serius orang yang mengobral janji, dan tak lama kemudian mengingkari dengan sepenuh hati.
Sikap Gumunan "Turun-Temurun"
Sikap gumunan tidak muncul belakangan. Mudahnya terjangkit rasa heran telah mengeram di benak banyak orang sejak lama.
Barangkali, mulut-mulut melongo pertanda rasa heran sudah kerap muncul sejak zaman penulis menerakan karyanya di permukaan batu. Buktinya, sejak dahulu orang-orang sudah mengenal nasihat ringkas ojo gumunan yang kerap dikumandangkan para tetua dalam budaya Jawa. Mungkin, budaya-budaya lain mengenalnya juga dengan istilah-istilah yang berbeda.
Bagaimana mungkin hadir ajakan untuk tidak gampang terheran-heran alias ojo gumunan jika tidak banyak orang terjangkit "virus" gampang terbengong-bengong? Bukankah tak bakal nongol kepulan asap kalau tidak ada api yang menyala?
Seringnya muncul kejadian-kejadian di luar nurul mengindikasikan terpeliharanya sikap gampang merasa heran secara turun-temurun. Dan, kondisi semacam itu merupakan lahan subur yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan kepentingan mereka.
Sepanjang budaya gumunan masih lestari di negeri ini, maka pertunjukan-pertunjukan ajaib akan terus bermunculan tanpa henti. Sepertinya, saat Komeng nyaleg, performanya meroket karena terbantu perilaku semacam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H