Kondisi tak mengenakkan itu tentu saja bukan kesalahan paslon capres semata. Ada andil tim pendukung di dalamnya.
Mestinya, tim di belakang paslon mengantisipasi kejadian seperti ini. Jika belum sanggup menyediakan perahu karet, setidaknya mereka menyiapkan payung sebelum bertolak ke Senayan.
Bila Anda cukup terkesan dengan peribahasa yang belepotan, sudah sepatutnya Anda mencicipi sajian peribahasa asal-asalan tentang kaum rebahan.
2. Kura-kura dalam perahu
Kalau peribahasa ini pas banget menggambarkan "serangan" Cawapres nomor urut 2 terhadap Cawapres nomor urut 1 dalam Debat Cawapres pertama.
Kala itu, Cawapres yang baru muncul menjelang penutupan pendaftaran itu pede sekali menjalankan aksinya. Sekilas tampak ia mengajukan pertanyaan tentang rencana paslon nomor urut 1 dalam mengembangkan ekonomi syariah di negara kita.
Namun, yang terjadi bukan perdebatan terkait program untuk meningkatkan peringkat Indonesia dalam komunitas ekonomi syariah internasional. Kandidat Cawapres yang ditanya tak sempat memaparkan pemikirannya karena kebingungan menerjemahkan istilah asing (singkatan dalam bahasa asing yang bikin kepala Cawapres 1 pusing) yang digunakan penanya.
Entahlah, saya tak begitu paham dengan apa yang terjadi saat itu, mungkinkah ada kura-kura dalam perahu? Apakah itu jenis pertanyaan untuk memancing perdebatan sehat atau sekadar bikin lidah terlipat?
Yang jelas, pertanyaan dari Cawapres termuda dalam sejarah pilpres di Indonesia itu berdampak besar. Pertanyan itu telah mendorong KPU menambahkan aturan debat yang selama ini belum dibuat.
3. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit
Jakarta Convention Center (JCC) menjadi lokasi Cawapres nomor urut 1 "mendeklarasikan" terminologi 'tobat ekologis' yang terdengar sangat manis. Terminologi yang diungkapkan dalam acara Debat Capres 2024 putaran keempat ini dimaksudkan sebagai langkah untuk mengurangi kerusakan lingkungan, misalnya melakukan pembangunan tidak dengan ugal-ugalan.
Komitmen ini tentu bakal mendapatkan applaus bila benar-benar dijalankan secara serius. Namun, mengikis tabiat yang telah merasuk ke dalam tulang, tentu bukan persoalan gampang.
Bagaimana jika komitmen melakukan tobat ekologis dimulai dari urusan yang "ringan" dan praktis? Misalnya, kader-kader partai (pendukung) yang bermimpi menjadi anggota dewan, tidak lagi memajang foto diri dengan cara menyiksa tanaman.