Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Resep Carlson Meredam Beban Kerja Seberat Tronton

5 Januari 2024   05:00 Diperbarui: 6 Januari 2024   00:50 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beban kerja berat yang kerap dikeluhkan bisa menjadi bumerang. Richard Carlson memberikan tips menyingkirkan kebiasaan buruk yang bisa bikin terpuruk.

"Berat nian beban kerjaku, Bro! Ampun, dah! Boro-boro minta cuti, sesekali pengen makan malam bareng anak bini aja nggak ada yang peduli!"

Kalimat semacam itu jamak diucapkan oleh seorang pekerja yang merasa dirinya dibebani pekerjaan teramat berat. Dalam pandangannya, beban yang ditaruh di pundaknya jauh melebihi beban pekerjaan pegawai-pegawai lainnya.

Saking panjang deretan tugas yang mesti dibereskannya saban hari, ia hampir tak pernah berkesempatan menjumpai anak-anaknya lagi. Ia hanya bisa menyaksikan mereka sekilas, ketika anak-anak sudah tertidur pulas.

Adakalanya beban kerja sesungguhnya tidak sebesar yang digaungkannya. Pegawai ini memang terdeteksi sebagai tukang ngibul, demen berkoar-koar soal beban kerja berat yang dipikulnya dengan omongan ngalor ngidul.

Mengapa ada orang gemar membual soal beban kerja yang, menurut perhitungannya, besarnya nggak kira-kira? Sebab, membesar-besarkan beban kerja bisa memunculkan rasa lega dan puas di hati pelontarnya.

Ada sejumlah alasan yang mendorongnya berbuat demikian. Pertama, dia mengharapkan atasan dan rekan-rekan kerjanya memaklumi beban "berat" yang dipikulnya. Konsekuensi dari pemakluman ini, ia tak layak dipersalahkan bila hasil kerjanya tidak sesuai ekspektasi.

Bukan itu saja, ia pun berharap mendengar ungkapan decak kagum orang-orang di sekelilingnya perihal besarnya kontribusi yang diberikannya bagi perusahaan. Kondisi ini bakal memunculkan harapan berikutnya, ia beroleh penilaian baik dan (akhirnya) menikmati kompensasi yang lebih tinggi.

Kalaupun alasannya tidak terlampau dahsyat, setidaknya timbul rasa lega  di hati sang pencurhat. Ia berhasil melapangkan dadanya lantaran kegundahan hatinya telah tersembur keluar dengan lancar.

Kadang-kadang juga perilaku pegawai semacam itu dijadikan sebagai kamuflase belaka atas ketidakmampuan dirinya dalam bekerja. Barangkali juga ia berambisi mengalahkan rekan kerjanya dengan cepat, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk bersaing secara sehat.

Ilustrasi Beban Kerja Berat. Sumber gambar: Kanchanachitkhamma via Canva.
Ilustrasi Beban Kerja Berat. Sumber gambar: Kanchanachitkhamma via Canva.

Mengeluhkan Beban Kerja Berat Adalah Bumerang

Apakah upaya semacam itu akan memberikan hasil sesuai harapan si tukang sambat?

Pertama, perlu dicermati tanggapan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, kolega terdekat di tempat kerja, yakni atasan dan rekan-rekan di sekitarnya.

Kita bisa membayangkan, bagaimana perasaan kita saat bertemu spesies manusia pengeluh semacam itu. Apakah kita merasa senang mendengar seseorang (pegawai yang begini biasanya rutin melakukannya) mengumbar deritanya sekaligus (berusaha) mengampanyekan sumbangsihnya bagi perusahaan?

Kecuali seseorang yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya pegawai yang sekubu, mestinya orang tidak merasa nyaman mendengar keluhan. Lebih-lebih lagi bila frekuensinya banyak, bisa bikin puyeng otak.

Jadi, alih-alih memperoleh simpati, pegawai yang hobi mengeluh dan mengumbar prestasi semu bakal dijauhi.

Namun, derita itu belum cukup baginya. Seorang pengumbar keluhan masih harus menanggung risiko besar lainnya.

Seuntai kalimat menggelitik dilontarkan oleh Richard Carlson, Ph.D, seorang konsultan stres. Dalam buku Don't Sweat the Small Stuff at Work (1999), Carlson mengemukakan bahaya yang timbul tatkala seorang pekerja acap melontarkan keluhan yang tidak pada tempatnya.

"Yang Anda keluhkan dapat menjadi ramalan yang mewujud dengan sendirinya, dan membuat Anda semakin terperangkap dalam kesibukan."

Siklus Derita yang Menyiksa

Nah, yang bakal terjadi adalah sebuah siklus derita. Seseorang yang tak puas dengan dirinya terdorong untuk rajin mengeluh dan membual tentang prestasi kerjanya. Akibatnya, orang-orang mulai menjaga jarak dengannya.

Selanjutnya, "ramalan" tentang beban kerja berat itu menjelma sebagai beban yang benar-benar berat sehingga membuat si pegawai semakin merasa tertimpa kesibukan yang luar biasa. Lantas, semakin kencang pula ia mengabarkan deritanya, dan terus berpusing-pusing bikin kepala pening tujuh keliling.

Membayangkan siklus demikian, masihkah kita akan terus meratapi beban kerja kita yang teramat berat? Bila ya, jangan ke mana-mana, cermati dulu pesan-pesan berikut ini.

"Jika Anda terlalu sibuk, istirahatlah atau kurangi kesibukan Anda," begitu wejangan Carlson sebagai penutup uraiannya mengenai cara menghindari kebiasaan membesar-besarkan beban kerja.

Memang benar, mengikuti petuah Carlson tak akan semudah melipat kertas karton. Kapasitas seorang pegawai tentu saja sangat terbatas untuk melakukan hal-hal di bawah kendali orang-orang di posisi atas.

Namun, jika belum sepenuhnya mampu mengolah resep yang disuguhkan Carlson, jangan berkecil hati dan suuzan. Ada cara lain yang (mestinya) lebih gampang dijalankan. Setidaknya, kita bisa menjaga diri agar tidak mengumbar urusan beban kerja berat hingga tersiar ke seantero jagat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun