Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sehelai Koran Bekas yang Demikian Berharga

4 Juni 2020   13:26 Diperbarui: 4 Juni 2020   23:40 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pexels.com/Julia M Cameron

Suatu pagi ketika sekolah libur, dengan suka cita saya dan saudara-saudara saya menyambut ibu yang baru tiba dari pasar. Waktu itu, saya masih duduk di bangku sebuah sekolah dasar. Entah kelas berapa, saya sudah lupa.

Saya yakin kebanyakan anak-anak seusia saya saat itu pasti tak sabar menanti ibunda pulang dari pasar. Selain faktor kedekatan anak-anak dengan sosok seorang ibu, sepertinya ada hal lain yang ditunggu.

Sebungkus getuk atau seplastik kerupuk biasa menjadi tentengan ibu. Zaman itu kami memang belum mengenal minuman yang ber-boba atau makanan bertoping keju. Buah tangan pada masa lalu kebanyakan aneka  jajanan tradisional semacam carabikang atau kue satu.

Bermula dari Sesobek Kertas

Namun ada cerita yang lebih seru ketimbang urusan berebut jajanan. Selain menikmati makanan yang dibawa ibu, saya juga mengincar material yang digunakan untuk membungkus jajanan-jajanan itu.

Umumnya jajanan dari pasar dibungkus sehelai daun pisang dan dilapisi sehelai surat kabar pada sisi luar. Tentu saja surat kabar kadaluwarsa yang telah menjadi barang rongsokan dan didapat para penjual di pasar melalui tangan para tukang loak.

Sekadaluwarsa-kadaluwarsanya sobekan koran, ia tetap menjadi magnet yang sangat kuat menarik minat dan perhatian. Ibarat sebuah peribahasa 'Tak ada rotan akar pun berguna'. Sebab saat tak tersedia bahan-bahan yang layak dibaca, koran bekas dilahap juga.

Koran bekas yang saya nanti-nantikan ini tidak selalu membungkus jajanan. Seringkali pula ia menjadi pelapis bungkus pelbagai macam barang belanjaan. Bahan makanan, bumbu dapur, bahkan ikan asin dan sayur berkuah acap kali dibungkus koran bekas. Maka, tak jarang kertas-kertas pembungkusnya basah terkena minyak, atau berbau amis dan berbercak-bercak.

Semakin banyak jenis belanjaan yang dibawa Ibu pulang, semakin membuat hati saya girang. Berarti, hari itu saya memiliki banyak bahan bacaan. Walaupun kadang-kadang wujudnya agak menjijikkan.

Mengapa saya perlu menceritakan kisah sesobek koran bekas? Sebab cerita itulah yang di kemudian hari menuntun saya gemar membaca. Tulisan-tulisan dalam seberkas koran bekas itu mampu membangkitkan semangat saya, "Suatu ketika, saya ingin menulis seperti mereka."

Mulai Menulis di Bangku SMA

Selepas SD yang saya lakoni di pelosok desa, saya diterima belajar di sebuah SMP di kota, meskipun kota kecil saja. Di sana, saya bisa melampiaskan kesukaan membaca karena perpustakaan di sekolah ini menyediakan cukup banyak bacaan yang menggairahkan. Salah satu bacaan favorit saya kala itu adalah cerita petualangan Winnetou di pedalaman Amerika sana.

Menulis baru menjadi kegiatan yang saya tekuni beberapa tahun berikutnya. Seingat saya, masa awal SMA baru saya mulai mencoret-coret kertas merangkai kata-kata. Seandainya tidak pernah tertarik dengan kegiatan membaca, barangkali juga kegiatan menulis tak kan pernah melecut hati kecil saya.

Saya semakin getol menulis kala berstatus sebagai seorang mahasiswa. Meskipun muncul motivasi yang berbeda, tetapi api semangat menulis saat itu cukup membara. Beberapa kali saya bisa membanggakan diri, kegiatan menulis juga bisa meringankan beban orangtua. Saat itu saya bisa menghasilkan sedikit uang dari menulis di majalah dan koran.

Saya pernah menceritakan sepenggal pengalaman menulis dalam artikel "Hobi Ini Pernah Menghidupi Saya". Memang aktivitas menulis sempat surut dalam kurun waktu yang cukup lama karena kesibukan kerja. Namun, kegiatan yang telah disemai dan dipupuk sejak belia, telah menjelma sebagai kebiasaan yang tak gampang melayang meskipun diterjang angin kencang. Walah!

Kini, saya telah kembali menekuni dunia kepenulisan yang sekian lama menguap ditelan 'kesibukan'. Karena kebiasaan menulis telah tertanam cukup kuat, tak perlu usaha yang terlalu keras untuk kembali memulainya.

#aliz event for library

#AlizEventForLibrary

AEL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun