"Jangan pernah membiasakan meninggalkan tulisan yang belum jadi hanya karena kehabisan ide. Setiap kali muncul masalah seperti itu, hadapilah. Tanamkan di pikiran Anda, kalau Anda terbiasa membuat tulisan terbengkalai tak selesai, maka Anda akan punya kebiasaan lari dari tanggung jawab di kehidupan sehari-hari."
Serangkaian kalimat itu dilontarkan oleh Puthut EA dalam sebuah bukunya, "Buku Catatan untuk Calon Penulis". Dan kalimat-kalimat itu begitu menohok saya. Bagaimana tidak, saya justru paling "hobi" menimbun konsep-konsep tulisan yang tidak atau belum jadi.
Saya telah menyediakan beberapa folder yang saya namai "konsep", sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi tulisan-tulisan yang tak selesai. Folder-folder itu bertebaran di berbagai perangkat yang saya miliki.Â
Makin hari, folder-folder ini semakin disesaki oleh penghuni-penghuni baru yang terus berdatangan. Ada yang singgah untuk sementara waktu, ada pula yang tinggal di sana dalam jangka waktu yang tak menentu.
Bahaya Menimbun Konsep
Menilik pernyataan Mas Puthut di atas, ternyata menimbun konsep tulisan itu sangat membahayakan. Ia tak sekadar membikin kita menjadi tidak produktif sebagai penulis, tetapi ada bahaya lebih besar yang siap memorakporandakan hidup kita. Bahaya besar itu adalah lahirnya kebiasaan lari dari tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh mengerikan, bukan?
Setelah termenung sejenak usai membaca kalimat-kalimat yang menusuk perasaan itu, saya segera membuka-buka kembali folder-folder "konsep" yang telah sekian lama berdiam diri dalam komputer dan perangkat lainnya. Segera timbul niat untuk sekuat tenaga menyelesaikannya satu per satu.
Namun sebuah kendala segera menghadang. Kalau saya kembali berkutat dengan konsep-konsep lama, tetap saja  saya akan menambah potensi untuk lari dari tanggung jawab. Sebab saya harus meninggalkan sebuah konsep terbaru saya, yakni tulisan ini. Maka, fokus saya berbalik, saya hendak secepatnya menyelesaikan artikel ini.
Tetapi jika saya ngotot menyelesaikan tulisan ini, bukankah konsep-konsep lama akan semakin telantar dan berdebu? Saya pun sempat dihinggapi perasaan bimbang, mana yang harus lebih dahulu saya bereskan. Sementara, waktu demikian cepat berlalu, dan pekerjaan-pekerjaan lain tetap setia menunggu.
Memang pelbagai alasan itu mudah saja mendatangi kita. Mau mengerjakan yang ini salah, menyelesaikan yang itu juga keliru. Alasan-alasan yang siap mengganggu kita jumlahnya tak kurang dari seribu satu.
Ya sudah, bulatkan saja tekad untuk menyelesaikan yang telah berada di hadapan mata. Lagipula, saya bisa berharap tulisan ini menjadi semacam pemicu.Â