Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3 Pelajaran Berharga Seorang Ibu kepada Anak Gadisnya

23 Desember 2019   15:42 Diperbarui: 23 Desember 2019   15:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Mengawali liburan akhir tahun ini, anak perempuan saya mengatakan bahwa ia ingin mencari ketenangan. Sepertinya ia butuh kondisi yang jauh dari hiruk-pikuk dan keributan. Kemudian, pada Minggu malam itu, ia menjatuhkan pilihannya pada perpustakaan.

Dan ia mengangguk pelan saat saya menawarkan diri untuk menemaninya. Keesokan harinya, hari Senin sekitar jam delapan pagi, kami bersiap-siap berangkat ke lokasi.

Dengan menggendong ransel hitam berisi laptop andalannya, ia membonceng di jok sepeda motor saya. Saya pun melajukan kendaraan menuju kawasan Sriwijaya di kota Atlas, tempat Perpustakaan Daerah Jawa Tengah berada.

Saya merasa pilihan yang diambilnya sangat tepat. Suasana ruang perpustakaan cukup hening. Meskipun ketika hari beranjak siang dan pengunjung semakin banyak berdatangan, tetapi semua orang terlihat menjaga adab dengan sangat baik. Jika harus berbicara, mereka menyetel volume suara secukupnya. Selebihnya, semua orang fokus menghadap buku atau laptop di depan mereka masing-masing.

Sembari menemani si gadis yang sibuk dengan laptopnya, saya mencoba berkeliling melihat-lihat koleksi buku. Entah mengapa saya terdorong untuk melangkahkan kaki menuju rak penyimpanan buku-buku bertema pendidikan.

Beberapa jilid buku saya tarik dari tempat persemayaman mereka. Salah satu buku yang cukup menarik minat baca saya berjudul "Character Matters" yang ditulis oleh Thomas Lickona. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga saya tak perlu membuka-buka kamus untuk memahami isinya.

Penampakan buku bersampul kuning itu agak lusuh. Mungkin karena banyak orang yang telah menyentuh dan membuka-buka lembaran-lembarannya.

Setelah menelusuri daftar isi, saya mendapatkan sebuah bab yang memikat hati saya untuk mendalami isinya. Saya melewatkan halaman-halaman awal dan langsung menuju bahasan yang sepertinya akan meninggalkan kesan yang cukup mendalam.

Kisah Inspiratif Helena Zapletalova

Dalam sebuah bab, penulis buku itu menceritakan sepenggal kisah seorang tetangganya yang berasal dari Cekoslowakia bernama Helena Zapletalova. Berikut ini penggalan kisah masa kecil Helena yang diungkapkan oleh Lickona dalam bukunya yang cukup tebal itu.

Kakek Helena pernah belajar mengukir secara otodidak. Suatu ketika Helena minta dibuatkan sesuatu dengan keahlian kakeknya mengukir. Maka, setelah menghabiskan beberapa waktu, sang kakek menyerahkan sebuah boneka kepada Helena. Bukannya bergembira, Helena yang saat itu berusia tujuh tahun justru merasa sangat kecewa mendapatkan boneka yang tak bagus menurut pandangannya. Helena kecil pun segera merajuk, "Bonekanya jelek, saya tidak mau boneka itu!"

Ibu Helena yang menyaksikan kejadian itu tampak sangat terperanjat. Segera saja sang ibu mengajak Helena ke kamarnya. Sepertinya Helena merasa ibunya marah kepadanya.

"Boneka itu memang jelek," kata Helena mencoba membela diri, "Mengapa Ibu marah ketika saya mengatakan sebuah kebenaran?"

Ibunya menjawab, "Kamu berpikir itu suatu kebenaran karena kamu tidak melihat dengan mata hati. Jika kamu melihat dengan mata hatimu, kamu akan tahu bahwa kakekmu telah bekerja keras selama seminggu untuk membuatmu senang. Dengan setiap goresan pisaunya, dia selalu memikirkanmu. Boneka itu penuh dengan cinta. Ibu terkejut kamu tidak dapat melihatnya."

"Tapi boneka itu tidak seperti boneka yang dijual di toko-toko." Helena berkilah.

Sang ibu membalas perkataannya, "Semua orang bisa membeli boneka-boneka itu selama punya uang. Kakekmu khusus membuatkan boneka untukmu, bukan untuk orang lain."

Helena mulai merasa malu dan akhirnya menangis. Apalagi setelah ibunya melanjutkan kalimatnya, "Kamu telah menyakiti perasaan kakekmu, dan juga Ibu, karena Ibu sangat mencintainya dan Ibu bisa melihat cinta kakekmu dari hadiah yang dibikinnya."

Penyesalan Helena pun segera menghinggapi hatinya. Kesedihannya semakin memuncak ketika ibunya tidak berkenan memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapinya. Menurut sang ibu, Helena tidak bertanya kepadanya sebelum ia menghina boneka yang dengan susah payah dibuat oleh kakeknya. Maka, Helena harus menemukan jalannya sendiri.

Setelah berpikir beberapa saat, Helena seperti menemukan sebuah jalan terang. Ia segera menemui kakeknya dan berkata, "Kakek, tidakkah akan terlihat bagus jika wajah, baju dan sepatu boneka ini dilukis?"

"Ini ide yang bagus. Mengapa Kakek tidak berpikir ke sana, ya?" Tanpa diduga sang kakek memberikan jawaban yang melegakan hatinya.

Maka, mereka segera melukis boneka itu bersama-sama. Boneka itu pun menjadi mainan favorit Helena.

Hingga menginjak usia remaja, boneka itu terus menemani Helena. Bahkan ia membawa serta si boneka ke kampus saat kuliah. Boneka itu telah menjadi pengingat bagi Helena untuk selalu berpikir sebelum menyakiti perasaan teman-temannya. Ia pula yang sekan-akan "menuntun" Helena untuk mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri kala diterpa masalah.

Tiga Pelajaran Penting

Usai membaca kisah itu, saya melihat peran besar seorang ibu dalam membentuk karakter anak gadisnya hanya dengan sebuah sikap sangat bijaksana yang ditunjukkannya. Saya melihat setidaknya ia telah menunjukkan tiga sikap yang berpengaruh sangat baik bagi perkembangan mental anaknya hingga si anak dewasa.

Pertama, sang ibu tidak menutupi kesalahan anaknya hanya demi membuat si anak merasa senang. Dalam kehidupan nyata, saya kira banyak orang tua yang selalu membela anak-anaknya dengan berbagai cara. Termasuk ketika anak berbuat salah.

Sikap melindungi anak yang berlebihan seringkali menumbuhkan mental yang lemah pada diri anak. Perbuatan salah yang ditutupi bisa jadi membuat anak-anak merasa perbuatannya tidak keliru. Atau setidaknya dibenarkan terutama oleh orang tua. Maka, anak-anak yang sering diperlakukan demikian akan sulit diharapkan bisa menjaga sikap baik dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan yang lebih parah, anak-anak akan mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain.

Kedua, sang ibu menunjukkan sikap tegasnya dengan menyatakan kekecewaan atas perilaku si anak yang berlaku buruk kepada kakeknya. Sikap seperti ini akan menumbuhkan rasa empati pada diri anak-anak. Mereka akan mengerti bagaimana rasanya menjadi orang yang tersakiti. Dan perasaan semacam itu merupakan pendorong seseorang untuk menahan diri dari menyakiti orang lain.

Ketiga, ia tidak serta-merta memberikan jalan keluar bagi putrinya untuk menyelesaikan masalah yang dibuatnya. Sang ibu memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berpikir dan menemukan sendiri solusi atas persoalan yang tengah menderanya. Tentu saja cara seorang ibu yang memberikan kepercayaan kepada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri akan mengangkat kepercayaan diri anak ke tingkat yang lebih tinggi.

Wah, ternyata mengisi liburan tidak harus pergi ke lokasi-lokasi wisata dengan spot-spot yang instagramable, ya. Tempat yang hening dengan bangku-bangku dan tumpukan buku pun bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengisi waktu dan mendapatkan inspirasi.

Referensi: "Character Matters", Thomas Lickona, PT Bumi Aksara, Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun