Ibu Helena yang menyaksikan kejadian itu tampak sangat terperanjat. Segera saja sang ibu mengajak Helena ke kamarnya. Sepertinya Helena merasa ibunya marah kepadanya.
"Boneka itu memang jelek," kata Helena mencoba membela diri, "Mengapa Ibu marah ketika saya mengatakan sebuah kebenaran?"
Ibunya menjawab, "Kamu berpikir itu suatu kebenaran karena kamu tidak melihat dengan mata hati. Jika kamu melihat dengan mata hatimu, kamu akan tahu bahwa kakekmu telah bekerja keras selama seminggu untuk membuatmu senang. Dengan setiap goresan pisaunya, dia selalu memikirkanmu. Boneka itu penuh dengan cinta. Ibu terkejut kamu tidak dapat melihatnya."
"Tapi boneka itu tidak seperti boneka yang dijual di toko-toko." Helena berkilah.
Sang ibu membalas perkataannya, "Semua orang bisa membeli boneka-boneka itu selama punya uang. Kakekmu khusus membuatkan boneka untukmu, bukan untuk orang lain."
Helena mulai merasa malu dan akhirnya menangis. Apalagi setelah ibunya melanjutkan kalimatnya, "Kamu telah menyakiti perasaan kakekmu, dan juga Ibu, karena Ibu sangat mencintainya dan Ibu bisa melihat cinta kakekmu dari hadiah yang dibikinnya."
Penyesalan Helena pun segera menghinggapi hatinya. Kesedihannya semakin memuncak ketika ibunya tidak berkenan memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapinya. Menurut sang ibu, Helena tidak bertanya kepadanya sebelum ia menghina boneka yang dengan susah payah dibuat oleh kakeknya. Maka, Helena harus menemukan jalannya sendiri.
Setelah berpikir beberapa saat, Helena seperti menemukan sebuah jalan terang. Ia segera menemui kakeknya dan berkata, "Kakek, tidakkah akan terlihat bagus jika wajah, baju dan sepatu boneka ini dilukis?"
"Ini ide yang bagus. Mengapa Kakek tidak berpikir ke sana, ya?" Tanpa diduga sang kakek memberikan jawaban yang melegakan hatinya.
Maka, mereka segera melukis boneka itu bersama-sama. Boneka itu pun menjadi mainan favorit Helena.
Hingga menginjak usia remaja, boneka itu terus menemani Helena. Bahkan ia membawa serta si boneka ke kampus saat kuliah. Boneka itu telah menjadi pengingat bagi Helena untuk selalu berpikir sebelum menyakiti perasaan teman-temannya. Ia pula yang sekan-akan "menuntun" Helena untuk mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri kala diterpa masalah.