Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Kancil Milenial dan Hoaks yang Gagal

4 September 2019   17:36 Diperbarui: 22 Maret 2020   15:20 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seekor kancil yang hidup di zaman milenial, tinggal di sebuah hutan meranggas yang amat jauh dari kesan rindang layaknya sebuah hutan. Sebetulnya hutan Cengkar dulunya sangat rindang. Namun kerimbunan pepohonannya tergerus oleh banyaknya gelondongan kayu yang diangkut para pembalak hanya demi membuncitkan perut mereka. Maka ia dan binatang-binatang lain di hutan Cengkar ini semakin kesulitan mencari penghidupan.

Tak heran bila sering kita dengar sekawanan gajah harus mencari "sesuap nasi" ke perkampungan manusia. Setelah mengisi perut-perut mereka, mereka segera meninggalkan kampung manusia kembali ke habitat mereka, hutan Cengkar.

Serakus-rakusnya kawanan gajah, mereka hanya makan seukuran perut mereka. Sedikit pun tidak ada mereka menenteng bahan makanan ke hutan. Apalagi menjarah barang-barang yang tak mereka butuhkan semacam kulkas dan televisi.

Alasan mereka merambah kota pun sangat masuk akal: kelaparan. Dan lahan tempat mereka mengais rezeki telah dijamah makhluk berakal bernama manusia. Manusia yang hanya bisa mengambil tanpa berniat memperbaharui.

Itu sedikit kisah pembuka untuk menggambarkan suasana hutan Cengkar yang semakin mendekati kondisi gersang seutuhnya. Tiada lain penyebab kegersangan hutan selain manusia, sang khalifah yang seharusnya menjaga alam tetapi malah merusak. Barangkali terinspirasi oleh keadaan ini, kemudian ada manusia yang menciptakan sebuah peribahasa untuk menggambarkan diri mereka sendiri, "Pagar makan tanaman".

Sekarang kita mulai dongeng si Kancil. Kali ini si Kancil kelaparan dan sedang mencari ketimun. Karena ia tak menemukan sebiji ketimun pun di dalam hutan, maka si Kancil ngeluyur ke arah kampung manusia. Antara hutan dan kampung manusia terdapat sebuah sungai.

Sungai ini tak lagi mengalirkan air jernih layaknya sungai di tepi hutan. Pabrik-pabrik yang dibangun manusia di arah hulunya sembarangan membuang limbah masuk sungai ini. Kini manusia semakin mengarahkan pembangunan pabrik-pabrik mereka menuju tepi-tepi hutan.

Nah, sesampainya di pinggir sungai hitam pekat itu, pandangan si Kancil tertuju ke kebun ketimun yang terbentang cukup luas di seberang sungai. Air liurnya menetes deras membayangkan segarnya ketimun yang tampak gemuk-gemuk itu. Ternyata ada juga petani desa yang memiliki lahan seluas itu. Ah, tapi mungkin bukan milik petani desa. Bisa jadi para pengusaha dari kota pun telah meluaskan jangkauan bisnisnya hingga pelosok desa, bahkan sampai ke tepi hutan.

Langkah Kancil menuju kebun ketimun terhalang oleh sungai. Sebenarnya aliran sungai itu tidak deras, bisa saja Kancil menyeberanginya. Namun si Kancil enggan melakukannya melihat warna air sungai yang kehitam-hitaman dengan bau anyir yang menyengat hidung kecilnya.

Maka, si Kancil pun memutar otak cerdiknya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, celingukan seperti mencari sesuatu.

Aha! Pikiran cerdasnya segera bekerja begitu kedua matanya mendapati sekumpulan buaya yang sebagian punggung dan moncongnya timbul ke permukaan air sungai. Rupanya keberadaan buaya-buaya itu tersamar oleh warna air sungai yang menghitam nyaris sewarna jelaga.

Begitu memperoleh sebuah cara untuk memperdaya para buaya, Kancil segera memanggil-manggil mereka.

"Buaya! Buaya!" teriak Kancil.

Tak ada sahutan.

"Hei, Buaya!" teriak Kancil dengan volume suara yang ditinggikan.

Tetap tiada sahutan dari arah sungai.

"Harus ada pancingan, nih," pikir si Kancil.

"Hei, para Buaya! Aku mau membagi-bagikan daging kambing yang banyak kepada kalian. Siapa yang mau?"

Aneh betul. Tak ada satu pun buaya yang menjawab iming-iming yang menggiurkan ini. Mendongak pun tidak. Apakah buaya sudah tidak lagi doyan daging segar?

Meskipun agak samar, si Kancil bisa melihat wajah-wajah para buaya tertunduk. Dan tangan masing-masing buaya menggenggam sebuah benda yang terlihat berkerlap-kerlip tertimpa cahaya matahari. Sepertinya mereka tengah sibuk dengan gawai masing-masing. Tak heran, mereka tak peduli lagi dengan buaya-buaya lain yang berada di sekitar mereka.

Namun, siapa sih yang meragukan kemampuan Kancil? Apalagi untuk urusan memperdaya binatang lain. Tak lama Kancil telah mendapatkan siasat baru.

"Hei Buaya! Maukah kalian aku kasih kuota internet gratis?"

Mendadak sontak para buaya mendongak. Kuota internet, apalagi gratis, adalah dambaan setiap buaya. Mulai bayi buaya yang baru bisa menggerakkan jempolnya hingga buaya bangkotan yang telah kehilangan semua giginya, semua butuh kuota. Kini, daging kambing atau daging apa pun tak lagi membuat buaya berselera.

"Aku mau! Aku mau!!" Para buaya berebut perhatian Kancil.

Mendapati kenyataan bahwa triknya berhasil, seulas senyum tersungging di bibir Kancil. Sudah tentu jenis senyum licik seperti yang selama ini sering menghiasi wajahnya. Si Kancil segera melancarkan rencananya.

"Ayo kalian semua berbaris dari tepi sungai di sini sampai tepi sungai di sana. Aku mau menghitung berapa banyak jumlah kalian biar semua mendapat bagian."

Kancil pun mulai mengatur barisan. Lagak Kancil sudah seperti seorang hartawan yang hendak membagi-bagikan uang receh kepada warga miskin. Padahal sejatinya ia hanya ingin menyeberangi sungai dengan memanfaatkan tubuh-tubuh buaya sebagai jembatannya. Buah-buah ketimun yang ranum menggantung pada batang-batangnya bak melambai-lambai mengharap si Kancil segera menghampiri mereka.

Sayangnya, Kancil salah duga. Ia mengira buaya-buaya yang ada di hadapannya ya sama saja dengan buaya-buaya dalam dongeng Kancil yang sering dibacakan bapaknya. Ternyata tak seekor pun buaya yang terpedaya oleh tipu muslihat model klasik sang Kancil.

Para buaya tertawa gelak-gelak. Ada yang sampai jungkir balik hingga air beraroma busuk menciprat ke mana-mana. Lalu salah seekor di antara mereka berkata.

"Aduh, Cil! Ngakunya aja Kancil milenial. Nggak tahunya masih pakai cara-cara kolonial! Ha ha ha!"

"Hua .. ha .. ha!!!" Buaya-buaya lain menimpali dengan gelak tawa.

"Kalau mau nyebar hoaks, pakai cara yang agak ilmiah, dong!" timpal buaya lainnya.

"Hua .. hua .. hua!!!"

Kancil terpana. Ia sama sekali tidak menyangka jika buaya tidak lagi mudah diperdaya. Warna merona di wajahnya menunjukkan rasa malu si Kancil yang tak terkira. Kapasitasnya selaku penipu masyarakat yang telah termashur ke mana-mana bakalan sirna dalam sekejap mata.

Bagusnya, si tukang tipu masih memiliki rasa malu. Dan ia tidak berusaha melemparkan kesalahannya kepada binatang-binatang lainnya. Sportif lah.

"Makanya, Cil, belajar dong cara-cara menipu yang lebih elegan! Kan banyak contoh di media," ucap seekor buaya.

Para buaya kembali terbahak-bahak. Dan si Kancil memilih kabur secepatnya menghindar dari rundungan para buaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun