Siapa yang tak merasa kesal saat mendapati laptop lemot-nya minta ampun. Untuk membuka program MS Word saja butuh sepuluh menit kira-kira. Benda aneh berwujud lingkaran sebesar kancing baju berwarna biru yang berpusing-pusing di permukaan monitor menambah pening kepala.
Padahal di sekeliling kepala sedang bertebaran banyak ide menari-nari seraya menjulurkan lidah mereka. Seakan-akan mereka sengaja meledek ketidakmampuan saya menangkap mereka. "Ayo, katanya mau nulis?" Ampun, deh!
Terbukanya program Word tak serta merta melancarkan rencana saya menulis. Kebutuhan akan referensi membuat saya harus bolak-balik beralih dari program Word ke perambah internet. Adakalanya juga saya membutuhkan Excell untuk mengutak-atik data.
Maka, semakin lamban lah gerakan si laptop, sudah sekelas siput saja gerak-geriknya. Jangankan menghasilkan sebuah artikel yang siap tayang, sebiji huruf pun tak sanggup saya memunculkannya. Padahal di awal tadi, sembari menulis saya berniat untuk sesekali mengintip live streaming Copa America pada layar yang sama. Maka, partai keras Kolombia melawan Chile pun lepas dari pandangan mata.
Karena tak tahan lagi akan keleletan si laptop, saya pun meninggalkan arena dengan membiarkan ide-ide terbang ke angkasa entah bakal singgah di mana. Sabtu pagi yang sedianya akan menjadi ajang menambah tabungan karya, justru berlalu dengan meninggalkan hati yang kecewa.
***
Malam harinya sempat ngopi dua cangkir, satu kopi berwarna hitam dan satu lagi jenis putih, sebelum tertampak oleh mata hati 'bohlam menyala di atas kepala'. "Ah, jangan-jangan terlalu banyak program yang memberati pundak si Windows." Demikian pikiran saya mencoba membongkar permasalahan laptop yang menghambat kelancaran saya berkarya. Bergegas saya menjumpai lagi laptop yang selamban bekicot itu.
Dengan berbekal sebuah perangkat lunak yang diciptakan khusus untuk meng-uninstall program-program komputer yang tak berguna atau memberatkan, saya segera beraksi. Pindaian yang saya lakukan memunculkan lima sosok permainan yang tidak saya inginkan berdiam di perangkat keras saya.
Kelima tamu yang tak saya undang itu merupakan bawaan Microsoft. Saya bisa mengetahuinya lantaran nama-nama diri masing-masing gim luring itu menyandang nama besar salah satu penyedia perangkat lunak terbesar dunia itu. Sebelum ini memang saya tak menyelisik satu per satu program yang mengisi laptop.
Tanpa ampun, saya segera menyingkirkan kelimanya. Untung saja mereka bukan makhluk bernyawa sehingga saya tak ragu menghabisinya. Bukan hanya memangkas batangnya, tapi saya keduk dan cabut hingga akar-akarnya. Perangkat lunak andalan saya ini memang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengatasi program-program parasit yang mengganggu kinerja komputer. Saya berharap mereka tak meninggalkan sisa-sisa pengaruh buruk bagi program-program lain yang memang saya butuhkan.
Dan, bukan sulap bukan sihir, perjalanan kursor di atas permukaan layar laptop seketika lancar jaya. Sekonyong-konyong laptop bekicot mampu berlari cukup kencang meskipun tak secepat lari seekor Citah yang gesit mengejar mangsa di padang rumput Afrika.
Namun sayang seribu kali sayang. Saat perkakas untuk menulis telah waras dari sakitnya, ide-ide yang sebelumnya berkelebat memutari kepala saya berkali-kali, telah lenyap ditelan asap pembakaran sampah peternak kambing di seberang komplek perumahan.
Ibarat sebuah peribahasa, "Tak ada rotan akar pun berguna", maka jadilah artikel tak berharga ini meluncur menghias halaman Kompasiana. Ini hanya untuk menghibur diri saya.
Akhir kisah ini, saya mendapatkan setidaknya dua keuntungan dari kesal hati yang saya rasakan. Keuntungan pertama, saya telah menambah satu lagi tayangan artikel saya di Kompasiana. Dan yang kedua, saya telah membersihkan laptop saya dari program-program tak berguna yang kerjanya menghambat saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H