Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mendadak Kaya

26 Juni 2019   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2019   10:27 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seakan-akan hendak menyaingi udara siang yang panas, sudah sekira dua jam belakangan ini Adek rewel dan marah-marah. Anak bungsuku yang berusia tujuh tahun itu nyaris ngamuk-ngamuk saja kerjanya sepanjang hari ini. Tak ada satu pun hal yang benar baginya.

***

Pagi tadi, dengan menumpang kereta api Taksaka, adik lelakiku bersama keluarganya kembali ke Jakarta melalui Stasiun Gambir. Ia harus kembali menunaikan tugasnya sebagai pegawai bagian keuangan sebuah perusahaan percetakan di Ibukota.

Selama seminggu sebelumnya, ia bersama istri dan anak semata wayangnya berlibur di Jogja dengan menumpang di rumahku. Awalnya ia bersikeras untuk menginap di hotel, takut merepotkan kami. Namun kami memaksa mereka bermalam di rumah saja. Memang rumah kami kecil, hanya berkamar tiga. Dengan dua orang anak, rumah kami telah mencukupi kebutuhan kami sekeluarga.

Kedatangan keluarga adikku mengharuskan anak bungsu kami mengungsi ke kamar ayah bundanya. Jadilah kami sekamar bertiga. Sementara kamar si bungsu dipakai keluarga adikku, juga sekamar bertiga dengan istri dan putri mereka yang masih balita.

Menjelang adik sekeluarga tadi beranjak menuju kereta yang telah siap membawa mereka meninggalkan kami, ia menyempatkan diri memberikan salam tempel khas Idul Fitri kepada anak bungsu kami. Sebuah tradisi yang telah berurat berakar dalam masyarakat di negeri ini. Ketika itu kami bertiga mengantar keluarga adik ke stasiun. Wajah si bungsu tampak berseri-seri menerima empat lembar uang lima puluh ribuan.

Berbeda dengan kebanyakan keluarga lain, kami tidak memiliki tradisi membagi-bagikan uang ala salam tempel kala Lebaran. Anak-anak kami tidak terbiasa memegang duit di tangan. Maka sesekali punya uang, si bungsu amat kegirangan. Tiba-tiba ia menjadi kaya.

Saking terperangahnya, ucapan terima kasih atas pemberian orang lain yang kami ajarkan sejak ia berusia amat dini tak kunjung meluncur dari bibirnya. Aku harus mengingatkannya atas kealpaannya ini.

Kondisi yang tak biasa dialami ini ternyata menimbulkan semacam rasa keterkejutan pada anak kami. Beberapa macam efek samping segera mengikuti kondisi di luar dugaan ini. Dampak pertama yang kami rasakan adalah kegagapan Adek, di mana ia akan menyimpan kekayaannya yang sebesar tiga ratus ribu rupiah itu.

***

Ia merengek-rengek minta dompet. Istriku segera menyodorkan beberapa bentuk dompet simpanannya kepada si bungsu. Aku melihat ada tiga yang disorongkannya. Dua dompet didapatnya dari toko emas saat kami mencoba berinvestasi dengan membeli beberapa gram perhiasan beberapa tahun silam. Dan satu lagi semacam wadah plastik untuk menyimpan perlengkapan mandi yang diperolehnya dari rumah sakit langganan kami ketika anak kami dirawat di sana karena penyakit tifus yang dideritanya.

Bukannya diam dan mengambil salah satu benda di antara tiga alternatif yang disodorkan bundanya, tangis Adek malah semakin keras. Aku menduga ia merasa cukup terhina dengan sodoran barang-barang yang tak elegan itu. Ia menginginkan dompet yang layak untuk menyimpan hartanya.

"Dompet apaan ini? Emangnya Adek mau pergi ke pasar?!"

Bagaimanapun bundanya membujuk dengan dalil-dalil tentang kesederhanaan hidup, Adek bergeming. Ia tetap tak hendak mengambil dompet-dompet kualitas pasar itu. Ia membandingkan dompet-dompet itu dengan tempat-tempat penyimpanan uang kepunyaan ayah, bunda dan kakaknya.

Persoalan yang berkaitan dengan tempat penyimpanan harta kekayaan Adek baru terselesaikan setelah kakak perempuannya berbaik hati meminjamkan sebiji dompetnya untuk dipakai sang adik. Rupanya Kakak masih menyimpan beberapa dompet cadangan. Entah karena rasa sayang atau akibat sakit kupingnya mendengar rengekan adiknya, tanpa syarat apa pun ia menyodorkan salah satu aset miliknya.

***

Baru usai dengan persoalan pertama, masalah kedua segera menghampiri kami. Lagi-lagi Adek tampak kebingungan. Kali ini ia bimbang hendak dipakai untuk apa uang sebanyak itu? Ia mulai mendata kebutuhan-kebutuhannya.

Layaknya seorang ibu yang bijaksana, Bunda menyarankan Adek untuk menyimpan saja uangnya sebagai tabungan. Nanti Bunda akan membelikannya sebuah celengan. Atau bisa juga Adek menitipkan uangnya di tabungan Bunda.

"Kelak akan berguna untuk memenuhi kebutuhan Adek," ucap Bunda.

Saran yang sangat tidak menarik bagi Adek.

Kini adek telah menuliskan sebuah daftar panjang kebutuhan-kebutuhannya, atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai keinginan-keinginannya. Daftar itu berisi nama-nama barang yang ia ingin memilikinya. Daftar itu juga memuat nama-nama tempat yang ia ingin mengunjunginya. Tak ketinggalan pula ia sebutkan dalam daftar itu kegiatan-kegiatan yang ia ingin mengikutinya.

Meskipun tidak diberi nomor, tapi aku bisa memperkirakan banyaknya keinginan Adek dari panjangnya daftar yang ditulisnya di kertas HVS ukuran kuarto. Barisan data yang dibuatnya dimulai dari ujung atas kertas hingga hampir menyentuh dasar. Dan ia masih terus berpikir keras membayangkan keinginan-keinginan lainnya yang belum tercatat di sana.

Kini aku juga ikut sibuk berkhayal. Aku membayangkan beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Setelah Adek menyelesaikan daftarnya, ia akan kembali pusing menetapkan pilihannya dan menghitung-hitung kecukupan anggarannya. Atau, apakah ia akan bersikukuh untuk mendapatkan semuanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun