Rasa iri pada kebodohan orang lain memang mendatangkan perasaan nikmat. Nikmat berwujud kebanggaan akan adanya kelebihan pada diri kita. Ada juga nikmat alibi saat kita tidak mampu ataupun enggan menjalani suatu tugas atau kepercayaan yang seharusnya kita tunaikan.
Iri hati pada kemalasan juga menerbitkan sebentuk kenikmatan yang lain. Kenikmatan yang kita dapatkan saat kita memiliki segudang alasan untuk ikut bermalas-malasan. Seseorang di lingkungan kita yang malas seakan-akan merupakan legitimasi bagi semua orang untuk malas.
Perasaan iri gampang menembus hati manusia yang tak kuat menghadangnya. Banyak sekali kondisi di sekitar kita yang sangat menggoda untuk dijadikan bahan iri hati. Godaan itu demikian menggiurkan sehingga bila kita tak teguh hati, kita bisa terjerumus ke lembah iri hati yang demikian beragam bentuk dan ukurannya.
Bila perasaan ini telah merasuk ke hati, bisa jadi akan berpengaruh buruk pada sikap kita. Sesuai dengan hal yang kita iri kepadanya, ke sanalah arah hati kita.
Rasa Iri Mendatangkan Kesusahan Diri
Namun harap diingat, bahwa iri hati pada akhirnya akan mendatangkan kesusahan. Kebanggaan yang berlanjut tidak akan menumbuhkan keinginan untuk maju. Sedangkan alibi, yang dalam hal ini dimaknai sebagai alasan untuk menghindari suatu tugas atau pekerjaan, sebagaimana semua jenis tipuan hanya akan mendatangkan ketidakpercayaan.
Dalam kehidupan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat, banyak kemungkinan hadirnya godaan rasa iri hati atas sikap-sikap negatif orang di sekitar kita. Termasuk di dalamnya rasa iri hati pada kebodohan, begitu juga dengan kemalasan.
Di keluarga misalnya, suatu ketika ada salah seorang anggota keluarga yang malas dan tidak mau mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, sementara anggota keluarga yang lain harus menyelesaikan tugas-tugas semacam itu. Ini potensi besar yang bisa memunculkan rasa iri hati antar anggota keluarga. Rasa malas bisa menjelma menjadi "penyakit menular" yang layak diwaspadai.
Saya sering mengalami susahnya memberikan pengertian kepada anak-anak untuk mengerjakan tugas-tugas rumah yang telah kami alokasikan kepada seluruh anggota keluarga. Tatkala salah seorang di antara anak-anak mangkir, tidak mau menjalankan tugasnya, maka anak-anak lain bisa terpengaruh. Menyaksikan saudaranya "hidup nyaman" tanpa beban tugas, tak pelak bisa menumbuhkan perasaan tidak adil. Maka, si anak mangkir akan menjadi alasan kuat bagi yang lain untuk mengikuti jejaknya.
Contoh lain, di lingkungan kerja, seorang rekan kerja kita tidak memiliki kemampuan atau kemauan seperti yang kita punya sehingga tidak dibebani pekerjaan sebanyak dan seberat kita. Dengan level jabatan atau posisi yang relatif sama, ia mendapatkan beban pekerjaan yang jauh lebih ringan dibandingkan kita.
Atasan melakukan monitoring yang sangat ketat atas hasil kerja kita. Sementara itu hal yang sangat berbeda diberlakukan bagi rekan kita yang memiliki kinerja tak sebaik kita. Ia nyaris tak mendapatkan tekanan sedikit pun sehingga bisa hidup tenang nyaris tanpa beban.Â
Di saat kita jungkir balik memikirkan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan tiada habis-habisnya, orang lain bisa ngobrol dan ngopi nyaris sepanjang hari.
Mendapati pembagian kerja dan tanggung jawab yang tak seimbang tersebut, tak jarang timbul rasa iri kita pada sang kawan. "Mengapa Pak Bos tidak memberikan tekanan yang sama kepada setiap anak buahnya?" Barangkali begitu kata hati kita. Jika kita terseret pada pikiran negatif, bisa saja kita mengikuti jejak sang kawan yang berkinerja kurang baik.
Iri hati pada hal-hal yang demikian sungguh berdampak buruk pada kehidupan pribadi kita sendiri. Baik di lingkungan keluarga, lingkungan kerja atau lingkungan mana pun, sikap iri hati ini akan menghambat kemajuan. Iri hati pada kemalasan mendorong kita untuk malas dan cenderung tak peduli.Â
Iri hati pada kebodohan pun mendorong kita mengikuti tabiat orang yang kita anggap tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dampak yang ditimbulkan oleh rasa iri hati semacam itu biasanya bersifat negatif. Dalam contoh di atas, rasa iri pada saudara yang malas bisa menimbulkan kemalasan pada diri kita. "Enak aja dia kerjaannya dikit banget, sementara kerjaanku sudah beres malah ditambahin terus!" Begitulah salah satu ucapan bernada iri.
Pada contoh yang kedua, ketidakmampuan rekan kerja yang menyebabkan beban pekerjaannya dilimpahkan kepada kita, bisa memunculkan rasa jengkel. Selanjutnya perasaan negatif itu bisa mendorong kita ikut-ikutan mengerjakan pekerjaan secara asal-asalan.
Begitu besarnya pengaruh rasa iri yang pada akhirnya hanya akan menyiksa diri. Seorang penyair mengatakan:
"Siapa senang mempedulikan perilaku orang, ia akan mati gelisah
Sedang orang yang gagah berani akan meraih kenikmatan"
(La Tahzan)
Kesulitan sebagai Pelajaran
Pada sisi yang berbeda, banyak orang menyampaikan bahwa sebenarnya kesulitan bisa menjadi bahan pelajaran yang berharga dibandingkan kenikmatan.Â
Perasaan iri hati yang bertumpu pada adanya kesulitan pada diri kita dan kemudahan pada diri orang lain bisa di balik menjadi sebuah pelajaran. Jika kita bisa menata perasaan dan mengambil hikmah dari kondisi orang lain yang menurut perasaan kita menyulitkan kita, itulah kondisi yang bisa menjadikan kemenangan beralih ke pihak kita.
Dalam buku "La Tahzan", seorang filsuf yang sangat kita kenal, Plato, pernah mengatakan ungkapan seperti ini, "Ketenangan itu laksana malam, karena Anda tidak pernah berpikir panjang tentang apa yang Anda berikan atau apa yang Anda dapatkan. Dan kesulitan itu laksana siang, karena Anda melihat dengan jelas apa yang Anda usahakan dan apa yang diusahakan oleh orang lain."
Sepertinya Plato mengingatkan kita untuk menikmati saja kesulitan-kesulitan yang harus kita hadapi. Karena kesulitan atau permasalahan yang kita hadapi akan membawa kita kepada pemahaman akan kemampuan yang kita miliki. Sementara itu, jika kita selalu berada dalam ketenangan tanpa masalah dan kesulitan, kita tak akan pernah tahu seberapa banyak hal-hal yang telah kita upayakan dan kita dapatkan.
Referensi: "La Tahzan", Dr. Aidh al-Qarni, Qisthi Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H