Menjelang Ramadan tahun ini, keluarga itu telah menetapkan satu cita-cita: masuk surga bersama-sama sekeluarga. Maka, bulan suci kali ini tak boleh berlalu begitu saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Keluarga itu hendak mengisi hari demi hari, jam demi jam sejak santap sahur hingga santap sahur berikutnya dengan ibadah-ibadah saum, tadarus dan qiyamul lail sesuai tuntunan sang Rasul. Jika Allah mengizinkan, ingin sekali wanita itu mengajak suami dan anak-anaknya berdiam di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadan mengharap berkah maksimal pada malam penuh kemuliaan.
Namun tamaknya gawai telah membuyarkan segala impian. Perkakas itu telah menyandera suami dan anak-anaknya. Berkah-berkah yang semestinya terkumpul di keluarga itu hanya menguap dan mungkin tak meninggalkan apa-apa. Bau surga tak lagi terendus oleh hidung mereka.
Sang suami nyaris tak mampu mengalokasikan waktu untuk hal lainnya. Bunyi notifikasi pesan masuk berisi instruksi selalu menghiasi gawainya. Ia tak kuasa menolak atau sekadar mengabaikan bahkan menundanya. Keterlambatan reaksi bisa berdampak buruk pada keberlangsungan karirnya.
Anak laki-lakinya sudah tak sedikit pun bisa berpaling dari permainan daring yang telah amat membiusnya. Rasa penasaran sudah menghapus akal sehat di jiwanya. Ketika panggilan salat lima waktu telah dianggap sepi, maka ibadah-ibadah lain lebih gampang ditinggalkannya.
Sementara itu, si Bungsu telah memindahkan nyaris seluruh sendi kehidupannya dari dunia nyata ke dunia maya. Ia tak lagi butuh bermain sepeda atau menikmati warna warni bunga di taman kompleks perumahan mereka. Ia sudah tidak lagi menginginkan bermain scrabble atau sekadar berbincang sejenak dengan orang tua dan saudaranya. Ia telah tenggelam dalam lautan media sosial dengan segala keriuhannya.
Maka tinggal lah sang wanita sendirian dalam tangisnya. Ia hanya bisa menumpahkan air matanya ke atas sajadah birunya. Bahkan bahu suaminya pun tak lagi bisa menjadi sandaran kepalanya.
Di antara isaknya, ia hanya mampu memohon kepada Yang Maha Kuasa. Harapnya, ia beserta seluruh anggota keluarga yang amat dicintainya masih mendapat kesempatan menikmati sisa sepuluh hari Ramadan yang istimewa.
Ia sungguh mengharap Sang Penguasa Hati berkenan menggerakkan hari orang-orang yang menjadi sandaran kepala dan buah hatinya. Ia masih membayangkan sebuah kesempatan menutup bulan suci dengan sepenuh-penuhnya kekhusyukan. Hingga Fitri yang kelak akan segera menjelang benar-benar mewujud sebagai yang sebenar-benarnya fitri.
Ia terus meyakini bahwa kemenangan sesungguhnya masih bisa diraih dengan ketaatan dan ketundukan. Menyingkirkan nafsu yang terlalu menghamba pada kepentingan dunia dan kesenangan yang tak akan dinikmatinya dalam waktu lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H