Tak lama lagi Syawal akan menggantikan Ramadan. Ada seorang wanita yang tidak pernah bisa melupakan hari-hari Ramadan yang telah dilewati. Ia juga mencemaskan Ramadan yang tersisa.
Semenjak mula Ramadan hingga menjelang sepuluh hari terakhir, sang wanita terus menangis. Ya, ia menangis hampir tiap malam sejak malam Ramadan pertama hingga nyaris berakhirnya bulan sarat harapan itu. Penyesalannya terus berlanjut saat orang-orang bersiap diri bersimpuh lebih dalam lagi berharap puncak keberkahan bulan penuh ampunan.
Bahkan tak sedikit orang yang sudah bersiap menyambut indahnya Fitri. Ia merasa tak bakal ikut merasakan lezatnya ketupat dan opor ayam bikinan ibu mertuanya beberapa waktu ke depan.
Sejak mula ia telah bertekad untuk menjadikan Ramadan tahun ini sebagai bulan yang sebenar-benarnya Ramadan. Ia ingin seluruh anggota keluarganya tenggelam dalam kekhusyukan dengan menjalankan sebanyak mungkin ibadah Ramadan.Â
Sebab ia ingin berangkat ke surga bersama-sama seluruh keluarganya. Ia ingin berkumpul lagi dengan suami dan kedua anak-anaknya dalam satu himpunan orang-orang yang beruntung dalam kenikmatan yang sempurna.
Ia senantiasa dihinggapi ketakutan jika saja ada satu di antara keempat anggota keluarganya tidak benar-benar mendapatkan bekal yang cukup untuk menghadap-Nya. Sebab Allah memiliki hak prerogratif memanggil umat-Nya kapan pun Dia berkehendak. Maka, Ramadan kali ini akan dijadikannya sebagai momen hijrah keluarga.
Suaminya seorang pegawai sebuah perusahaan ekspedisi level menengah yang tengah tumbuh pesat. Karena perusahaannya sedang mengejar ambisi melipatgandakan pemasukan, suaminya dan seluruh pegawai di perusahaan itu harus bekerja ekstra. Pesatnya pertumbuhan perdagangan daring turut membesarkan volume usaha perusahaan tempatnya mengais nafkah.
Bagi suaminya, berbuka puasa di rumah bersama dirinya dan kedua buah hati mereka menjadi barang langka. Ia lebih sering mengakhiri puasa di kantornya dan melanjutkan pekerjaannya sesaat setelah salat Magrib di musala kantor. Musalanya pun tidak sebenar-benarnya musala. Yang disebut musala di kantor suaminya sebetulnya hanya sebuah ruang satu setengah kali tiga meter yang digelari karpet hijau.
Salat Tarawih berjamaah pun ia tak sanggup rutin menjalaninya. Dan di kala sebagian mukmin khusyuk dan berurai air mata pada sepertiga malam, suami si wanita terlelap kelelahan. Adakalanya, saat santap sahur bersama keluarga, si suami mengkorupsi waktunya untuk menjawab instruksi melalui gawainya.
Anak pertamanya baru beranjak remaja. Anak laki-laki gagah itu kini duduk di kelas awal sebuah sekolah swasta setingkat SMA. Sesuai postur tubuhnya yang atletis, ia gemar olah raga. Puasa tidak menghalanginya untuk tetap beraktivitas fisik yang menguras tenaga. Ia telah mengatur waktu sedemikian rupa agar puasa dan olah raga bisa tetap dijalaninya. Alhamdulillah, selama ini ia tetap menjalankan puasa wajibnya.
Anak keduanya berselisih tiga tahun dengan si Sulung. Ia seorang gadis manis yang hobi musik. Hari-harinya diisi dengan menikmati lagu dan memainkan beberapa alat musik. Ia piawai memainkan piano, gitar dan harmonika. Tidak ada masalah dengan ibadah puasa Ramadan. Kini anak perempuan itu tengah menimba ilmu di tingkat awal sebuah SMP tak jauh dari rumahnya.
Menjelang Ramadan tahun ini, keluarga itu telah menetapkan satu cita-cita: masuk surga bersama-sama sekeluarga. Maka, bulan suci kali ini tak boleh berlalu begitu saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Keluarga itu hendak mengisi hari demi hari, jam demi jam sejak santap sahur hingga santap sahur berikutnya dengan ibadah-ibadah saum, tadarus dan qiyamul lail sesuai tuntunan sang Rasul. Jika Allah mengizinkan, ingin sekali wanita itu mengajak suami dan anak-anaknya berdiam di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadan mengharap berkah maksimal pada malam penuh kemuliaan.
Namun tamaknya gawai telah membuyarkan segala impian. Perkakas itu telah menyandera suami dan anak-anaknya. Berkah-berkah yang semestinya terkumpul di keluarga itu hanya menguap dan mungkin tak meninggalkan apa-apa. Bau surga tak lagi terendus oleh hidung mereka.
Sang suami nyaris tak mampu mengalokasikan waktu untuk hal lainnya. Bunyi notifikasi pesan masuk berisi instruksi selalu menghiasi gawainya. Ia tak kuasa menolak atau sekadar mengabaikan bahkan menundanya. Keterlambatan reaksi bisa berdampak buruk pada keberlangsungan karirnya.
Anak laki-lakinya sudah tak sedikit pun bisa berpaling dari permainan daring yang telah amat membiusnya. Rasa penasaran sudah menghapus akal sehat di jiwanya. Ketika panggilan salat lima waktu telah dianggap sepi, maka ibadah-ibadah lain lebih gampang ditinggalkannya.
Sementara itu, si Bungsu telah memindahkan nyaris seluruh sendi kehidupannya dari dunia nyata ke dunia maya. Ia tak lagi butuh bermain sepeda atau menikmati warna warni bunga di taman kompleks perumahan mereka. Ia sudah tidak lagi menginginkan bermain scrabble atau sekadar berbincang sejenak dengan orang tua dan saudaranya. Ia telah tenggelam dalam lautan media sosial dengan segala keriuhannya.
Maka tinggal lah sang wanita sendirian dalam tangisnya. Ia hanya bisa menumpahkan air matanya ke atas sajadah birunya. Bahkan bahu suaminya pun tak lagi bisa menjadi sandaran kepalanya.
Di antara isaknya, ia hanya mampu memohon kepada Yang Maha Kuasa. Harapnya, ia beserta seluruh anggota keluarga yang amat dicintainya masih mendapat kesempatan menikmati sisa sepuluh hari Ramadan yang istimewa.
Ia sungguh mengharap Sang Penguasa Hati berkenan menggerakkan hari orang-orang yang menjadi sandaran kepala dan buah hatinya. Ia masih membayangkan sebuah kesempatan menutup bulan suci dengan sepenuh-penuhnya kekhusyukan. Hingga Fitri yang kelak akan segera menjelang benar-benar mewujud sebagai yang sebenar-benarnya fitri.
Ia terus meyakini bahwa kemenangan sesungguhnya masih bisa diraih dengan ketaatan dan ketundukan. Menyingkirkan nafsu yang terlalu menghamba pada kepentingan dunia dan kesenangan yang tak akan dinikmatinya dalam waktu lama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI