Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Data Pribadi, Ternyata Berpotensi Merugikan Diri

17 Mei 2019   13:12 Diperbarui: 17 Mei 2019   19:35 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebenarnya tidak sering saya mengalaminya. Paling banyak tiga atau empat kali dalam sebulan. Maka saya pun tidak terlalu ambil peduli dengan pesan-pesan singkat yang tak saya harapkan itu. Saya hanya berpikir, "Yah, namanya juga orang cari duit!"

Biasanya saya langsung menghapus secara permanen pesan-pesan yang tidak saya perlukan itu dari gawai saya. Kalau tidak segera dihapus bisa memenuhi memori ponsel saya. Selain itu, bila masih tersimpan di telepon seluler, saya takut suatu saat saya jadi tertarik untuk mengambil pinjaman-pinjaman yang tidak saya butuhkan.

Pesan tak diharapkan yang menghampiri telepon genggam saya umumnya datang dari lembaga semacam koperasi simpan pinjam. Ada juga yang mengatasnamakan dirinya lembaga pemberi pinjaman secara daring atau biasa disebut fintech. Tentu saja mereka membujuk agar kita mengambil produk-produk pinjaman mereka dengan cara yang cepat dan gampang.

Sempat juga terpikir untuk melayangkan protes kepada si pengirim, tetapi niat itu saya urungkan. Saya yakin itu perbuatan sia-sia belaka. "Emang gue pikirin!" Barangkali begitu kata mereka.

Satu atau dua orang komplain tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Dengan mudahnya mereka akan menganggap sepi keluhan kita. Dan para pemasar semacam itu akan segera mengalihkan pengiriman pesan-pesan iklan yang sama ke nomor-nomor lainnya.

Mulanya saya mengira orang mengirimkan pesan iklan secara acak. Pesan-pesan umumnya berisi penawaran macam-macam pinjaman dengan syarat mudah dan hanya perlu menunggu beberapa menit saja langsung cair. Bisa jadi semua nomor telepon seluler dikirimi iklan semacam ini.

Seperti orang menyebar brosur warung sop buntut di parkiran. Tak peduli merk dan tahun keluaran kendaraan, pokoknya jepit saja brosur di antara kaca dan wiper-nya. Dari sekian banyak orang yang "dititipi" brosur, bisa diharapkan beberapa orang merupakan penggemar sop buntut.

Atau mungkin ada kriteria tertentu yang ditetapkan oleh si marketing. Dan secara kebetulan nomor kita masuk ke dalam golongan yang mereka sasar.

Seperti misalnya orang menawarkan nomor cantik. Tentu si pengirim pesan telah memilih nomor-nomor ponsel yang memiliki kemiripan dengan nomor cantik yang ditawarkan. Misalnya tiga digit terakhir nomor ponsel kita sama dengan nomor si cantik. Eh, maksud saya si nomor cantik.

Ya sudah, abaikan saja kalau kita tidak tertarik dengan produk mereka.

Namun ketika mulai marak pemberitaan mengenai jual beli data pribadi, hati ini sontak was-was. Bagaimana ini, data pribadi kok dijual bebas kepada orang lain. Dan tanpa ijin pemilik data.

Berita di Kompas misalnya, mengabarkan hasil investigasinya yang mencengangkan. Harian Kompas memaparkan hasil penelusuran mereka terkait jual beli data pribadi pada edisi tanggal 13 hingga 15 Mei 2019 lalu.

Ternyata ada berbagai kemungkinan data pribadi bisa berpindah tangan kepada pihak yang tidak berhak menerima dan menggunakan data itu. Satu di antaranya melalui permintaan data konsumen oleh kasir atau petugas toko-toko ritel.

Beberapa kali saya menyaksikan pramuniaga produk susu di pusat belanja minta nomor telepon orang-orang yang telah ditawari produk dan sedikit diwawancarai. Para SPG berbagai produk yang berkeliling di perkantoran pun saya lihat melakukan hal yang sama. Umumnya mereka beralasan bahwa data yang mereka minta akan digunakan sebagai bahan laporan dan bukti bahwa mereka telah mem-prospek calon pelanggan.

Kita tidak tahu persis melalui saluran mana data pribadi kita jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Lalu tanpa kita sadari data itu telah tersaji di lapak-lapak para pedagang online sebagai barang yang diperjualbelikan tanpa kita pernah menjual atau menghibahkannya kepada siapa pun.

Setidaknya ada dua macam potensi pelanggaran dari kegiatan perdagangan data pribadi yang tidak sah. Pertama, orang secara leluasa bisa memajang barang dagangan yang bukan miliknya di lapak-lapak daring. Kedua, barang dagangan berupa data pribadi yang bersifat sangat rahasia bisa disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan kita.

Selain tidak etis, penggunaan data pribadi tanpa seizin si empunya data juga menimbulkan potensi bahaya. Bayangkan saja, data yang disalahgunakan antara lain meliputi nama lengkap, alamat lengkap, nomor telepon, bahkan termasuk besaran gaji dan nama ibu kandung.

Lembaga-lembaga keuangan semisal bank biasa menggunakan data semacam itu sebagai "kata kunci" bagi nasabah untuk mengakses rekening mereka. Jadi, data semacam itu bersifat sangat rahasia. Betapa riskan bila data itu tidak dijaga dengan baik.

Masih mending kalau data pribadi hanya digunakan untuk memilah-milah target market. Lalu para tenaga pemasar mengirimi targer-target mereka dengan iklan-iklan melalui berbagai sarana. Dampak buruk yang ditimbulkannya mungkin hanya sebatas rasa kesal karena harus menerima "tamu yang tak diundang".

Apa yang akan terjadi jika data semacam itu jatuh ke tangan orang-orang "kreatif" yang berpikiran jahat? Lalu para kreatif itu memanfaatkan data ilegal yang sangat rahasia untuk mengeruk keuntungan finansial? Untuk membobol rekening bank misalnya?

Referensi: Kompas edisi 13, 14 dan 15 Mei 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun