Namun ketika mulai marak pemberitaan mengenai jual beli data pribadi, hati ini sontak was-was. Bagaimana ini, data pribadi kok dijual bebas kepada orang lain. Dan tanpa ijin pemilik data.
Berita di Kompas misalnya, mengabarkan hasil investigasinya yang mencengangkan. Harian Kompas memaparkan hasil penelusuran mereka terkait jual beli data pribadi pada edisi tanggal 13 hingga 15 Mei 2019 lalu.
Ternyata ada berbagai kemungkinan data pribadi bisa berpindah tangan kepada pihak yang tidak berhak menerima dan menggunakan data itu. Satu di antaranya melalui permintaan data konsumen oleh kasir atau petugas toko-toko ritel.
Beberapa kali saya menyaksikan pramuniaga produk susu di pusat belanja minta nomor telepon orang-orang yang telah ditawari produk dan sedikit diwawancarai. Para SPG berbagai produk yang berkeliling di perkantoran pun saya lihat melakukan hal yang sama. Umumnya mereka beralasan bahwa data yang mereka minta akan digunakan sebagai bahan laporan dan bukti bahwa mereka telah mem-prospek calon pelanggan.
Kita tidak tahu persis melalui saluran mana data pribadi kita jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Lalu tanpa kita sadari data itu telah tersaji di lapak-lapak para pedagang online sebagai barang yang diperjualbelikan tanpa kita pernah menjual atau menghibahkannya kepada siapa pun.
Setidaknya ada dua macam potensi pelanggaran dari kegiatan perdagangan data pribadi yang tidak sah. Pertama, orang secara leluasa bisa memajang barang dagangan yang bukan miliknya di lapak-lapak daring. Kedua, barang dagangan berupa data pribadi yang bersifat sangat rahasia bisa disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan kita.
Selain tidak etis, penggunaan data pribadi tanpa seizin si empunya data juga menimbulkan potensi bahaya. Bayangkan saja, data yang disalahgunakan antara lain meliputi nama lengkap, alamat lengkap, nomor telepon, bahkan termasuk besaran gaji dan nama ibu kandung.
Lembaga-lembaga keuangan semisal bank biasa menggunakan data semacam itu sebagai "kata kunci" bagi nasabah untuk mengakses rekening mereka. Jadi, data semacam itu bersifat sangat rahasia. Betapa riskan bila data itu tidak dijaga dengan baik.
Masih mending kalau data pribadi hanya digunakan untuk memilah-milah target market. Lalu para tenaga pemasar mengirimi targer-target mereka dengan iklan-iklan melalui berbagai sarana. Dampak buruk yang ditimbulkannya mungkin hanya sebatas rasa kesal karena harus menerima "tamu yang tak diundang".
Apa yang akan terjadi jika data semacam itu jatuh ke tangan orang-orang "kreatif" yang berpikiran jahat? Lalu para kreatif itu memanfaatkan data ilegal yang sangat rahasia untuk mengeruk keuntungan finansial? Untuk membobol rekening bank misalnya?
Referensi: Kompas edisi 13, 14 dan 15 Mei 2019.