Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenaikan Harga Bahan Pangan Memang Harus Terjadi

8 Mei 2019   16:44 Diperbarui: 9 Mei 2019   04:18 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tribunnews.com

Saya tak merasa heran jika tiap Bulan Ramadan terjadi kenaikan harga bahan pangan. Ramadan kali ini pun akan sama saja. Tanda-tanda harga bahan kebutuhan Ramadan akan naik sudah terlihat sejak beberapa hari menjelang masuk bulan puasa. Tinggal menunggu siklus inflasi musiman menghampiri kita.

Ramadan kali ini dimulai pada Senin. Maka, Sabtu dan Minggu sebelumnya bisa disebut sebagai "hari raya belanja". Pada hari itu, seakan-akan warga bermigrasi ke pusat-pusat perbelanjaan.

Daftar belanja setiap orang jauh lebih panjang dibandingkan hari biasa. Barang-barang yang tidak biasa masuk daftar belanja harian atau bulanan, kali ini terpaksa harus tercantum dalam catatan belanja. Sebut misalnya kurma dan sirup, dua barang yang selalu merajalela setiap Ramadan tiba.

Bisa juga barang-barang yang selama ini sudah masuk daftar belanja, kali ini volumenya dilipatgandakan seperti misalnya buah-buahan.

Permintaan konsumen akan bahan-bahan kebutuhan pokok pun ikut terdampak oleh antusiasme warga mengonsumsi aneka makanan dan minuman. Di samping makanan dan minuman khas Ramadan, masyarakat juga tetap membutuhkan bahan-bahan pokok seperti beras, telur, dan minyak.

Selain untuk kebutuhan keluarga, banyak juga warga yang menyediakan makanan untuk berbuka puasa bagi masyarakat. Tak sedikit pula organisasi, instansi, dan perusahaan yang menyelenggarakan acara buka bersama anak yatim misalnya. Volumenya tentu cukup besar mengingat maraknya kegiatan semacam itu. Maka, kebutuhan akan bahan-bahan makanan kian berlipat.

Maka, troli-troli belanja menghilang dari tempat penyimpanan. Seluruhnya beredar di lorong-lorong sempit di antara rak-rak supermarket dan tempat-tempat belanja lainnya.

Pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya, saya sempat menjadi bagian dari kerumunan orang di pasar swalayan. Merasakan capeknya berdesak-desakan, memilih-milih barang dan berebut antre di depan kasir.

Beruntung sekali sekarang pusat-pusat perbelanjaan jauh lebih dingin dan nyaman. Bayangkan jika aroma keringat sekumpulan manusia itu tidak ditelan sejuknya angin yang tersembur dari pendingin ruangan.

Ramadan kali ini saya tidak berada di sana saat terjadi kerumunan massa. Tak ikut "menikmati" acara berdesak-desakan berburu bahan makanan. Saya hanya melihat sekilas pemandangan itu saat berlalu di depan sebuah tempat belanja kebutuhan warga.

Sepanjang bulan puasa berjalan, kemungkinan besar tingkat konsumsi masyarakat tetap berada pada posisi yang tinggi. Bisa naik secara kuantitas, bisa juga pada sisi kualitas.

Secara logika, frekuensi makan minum masyarakat akan berkurang karena sedang menjalankan puasa. Namun pada sisi kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak selalu sejalan dengan logika ini. Adakalanya orang melakukan rapel makan dan minum yang tertunda.

Selain  itu, secara kualitas umumnya umat yang menunaikan ibadah puasa merasa perlu meningkatkan mutu makanan dan minuman yang mereka konsumsi setiap hari. Alasan utamanya tentu untuk menjaga stamina tubuh, mereka memerlukan asupan makanan yang lebih bergizi dibandingkan hari-hari di luar Ramadan.

Kualitas makanan dan minuman tentu saja berbanding lurus dengan tingkat harga yang harus dibayar. Bisa jadi daftar belanja selama bulan Ramadan tidak bertambah panjang, tetapi jumlah rupiah yang harus dikeluarkan konsumen tetap bertambah banyak.

Selama lomba belanja masih terus terjadi setiap menjelang dan selama Ramadan, maka kenaikan harga tak mungkin dicegah. Seingat saya, begitulah hukum ekonomi berkata. Jika permintaan lebih tinggi dibandingkan penawaran, dengan asumsi hal-hal lain tetap, maka harga akan naik.

Harga-harga hanya mengikuti kemauan masyarakat. Masyarakat meminta barang lebih banyak, sementara penambahan stok barang tidak sebanyak tambahan permintaan, maka sang harga tak mungkin diam saja. Ia akan menggeliat naik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun