Secara logika, frekuensi makan minum masyarakat akan berkurang karena sedang menjalankan puasa. Namun pada sisi kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak selalu sejalan dengan logika ini. Adakalanya orang melakukan rapel makan dan minum yang tertunda.
Selain  itu, secara kualitas umumnya umat yang menunaikan ibadah puasa merasa perlu meningkatkan mutu makanan dan minuman yang mereka konsumsi setiap hari. Alasan utamanya tentu untuk menjaga stamina tubuh, mereka memerlukan asupan makanan yang lebih bergizi dibandingkan hari-hari di luar Ramadan.
Kualitas makanan dan minuman tentu saja berbanding lurus dengan tingkat harga yang harus dibayar. Bisa jadi daftar belanja selama bulan Ramadan tidak bertambah panjang, tetapi jumlah rupiah yang harus dikeluarkan konsumen tetap bertambah banyak.
Selama lomba belanja masih terus terjadi setiap menjelang dan selama Ramadan, maka kenaikan harga tak mungkin dicegah. Seingat saya, begitulah hukum ekonomi berkata. Jika permintaan lebih tinggi dibandingkan penawaran, dengan asumsi hal-hal lain tetap, maka harga akan naik.
Harga-harga hanya mengikuti kemauan masyarakat. Masyarakat meminta barang lebih banyak, sementara penambahan stok barang tidak sebanyak tambahan permintaan, maka sang harga tak mungkin diam saja. Ia akan menggeliat naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H