Baliho-baliho caleg yang terpajang di segala penjuru kota hingga pelosok-pelosok desa tak membuat saya tertarik untuk memilih sosok-sosok yang terpampang di sana. Kadang-kadang yang terjadi malah sebaliknya, keberadaan baliho justru menumbuhkan keengganan untuk mengarahkan pilihan kepada mereka.
Saya sempat berpikir, seorang caleg yang semakin banyak "mencecerkan" wajahnya di baliho-baliho, makin membuat saya bersemangat untuk menghindarinya. Semakin besar dan berderet-deret baliho yang menampilkan wajah seorang caleg, semanis apa pun senyumnya, semakin menjauhkan minat saya kepadanya.
Selain menampilkan wajah yang berusaha tersenyum seramah mungkin atau mengepalkan tangan ingin menunjukkan semangat dan tekadnya yang membara, umumnya baliho juga dilengkapi dengan kalimat yang menyatakan misi atau semboyan sang caleg.
Kata-kata indah sudah pasti bertaburan di sana. Beberapa kata atau frasa yang terpajang mengiringi senyum manis atau semangat yang gagah para caleg antara lain "jujur", "amanah", "merakyat", "suka bekerja keras", dan kata-kata lain yang semacam itu.
Namun, bagaimana cara kita memverifikasi kata-kata itu? Apakah "kelakuan" si caleg benar seperti yang tercantum di baliho?
Membuka Profil Caleg
Harian Kompas edisi Senin tanggal 4 Februari 2019 menulis tentang perlunya KPU membuka profil caleg kepada publik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat, khususnya warga negara yang telah memiliki hak pilih, mendapatkan informasi yang cukup tentang rekam jejak calon anggota legislatif secara memadai.
Calon pemilih perlu tahu latar belakang atau pandangan-pandangan para caleg. Sudah saatnya pemilih bisa menetapkan pilihan dengan keyakinan, bukan berdasarkan tampilan wajah dan kalimat manis di baliho.
Sebenarnya KPU telah mulai melakukan pembukaan profil caleg, yakni dengan mengumumkan caleg mantan narapidana kasus korupsi. Ini merupakan hal bagus, tetapi belum cukup. Pengumuman daftar caleg mantan koruptor hanya merupakan salah satu petunjuk awal bagi pemilih untuk menetapkan pilihan mereka.
Namun setelah calon pemilih mengetahui daftar caleg mantan napi korupsi, kebanyakan akan kembali bingung seandainya mereka telah menentukan pilihan "di luar daftar" yang diumumkan oleh KPU. Sebab, masih banyak lagi alternatif daftar nama yang bisa dipilih.
Bisa jadi, seperti yang disinyalir oleh beberapa pengamat, kondisi kebingungan masyarakat semacam ini menjadi salah satu faktor pendorong tingginya angka golput. Nah, paparan KPU tentang profil caleg bisa membuka wawasan para calon pemilih untuk menetapkan pilihan mereka. Jika pemilih telah memiliki gambaran yang lebih jelas tentang para caleg, mudah-mudahan kecenderungan golput bisa ditekan.
Namun sayang, seperti diakui seorang anggotanya, KPU tidak bisa memaksa caleg untuk membuka data mereka. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para caleg dan partai politik yang menaungi mereka.
Tinggal kini ada kemauan atau tidak dari para caleg dan parpol untuk membuka data diri mereka. Mudah-mudahan caleg dan parpol melihat kesempatan ini sebagai peluang untuk mempromosikan diri mereka, bukan malah menyembunyikan identitas caleg yang sebenarnya.
Kecuali jika caleg dan parpol masih tetap merasa cukup puas setelah memasang baliho di perempatan jalan dengan memajang tampang mereka dan sedikit kata atau kalimat yang sering kali diambil dari kamus bahasa dewa.
Para Caleg, Menulislah
Selain membuka data profilnya, ada beberapa sarana lain yang bisa dimanfaatkan oleh para caleg untuk mempromosikan diri mereka. Salah satu cara yang menurut saya layak diupayakan adalah menulis.
Yang saya maksudkan dengan menulis tentu bukan sekadar menulis "secuit" ujaran dalam media sosial. Namun, alangkah baiknya jika mereka mau meluangkan waktu untuk menuliskan pandangan dan pemikiran mereka terkait dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Menulis semacam ini bisa dilakukan di media arus utama maupun media daring. Materi tulisan tidak harus secara jelas mengungkapkan propaganda tentang apa yang akan dilakukannya kelak jika terpilih sebagai anggota dewan. Lebih baik mereka memberikan pandangan atas hal-hal yang terjadi di masyarakat, lalu menyampaikan pemikirannya dalam upaya mengembangkan sumber daya dan kemampuan masyarakat memperbaiki kondisi yang ada saat ini.
Tulisan dalam bentuk artikel atau opini tentu sangat berbeda dengan cuitan di media sosial. Menulis artikel membutuhkan daya nalar yang baik. Menulis opini yang terstruktur juga menuntut kesungguhan untuk mengumpulkan data, menganalisa dan menumpahkannya dalam wujud tulisan.
Tulisan bisa menunjukkan siapa penulisnya. Selain membuat pemikiran-pemikiran penulisnya akan mengemuka, tulisan juga bisa digunakan untuk melihat indikasi runtutnya pikiran seseorang.
Memang seseorang yang mampu memaparkan ulasan dan gagasan dalam bentuk tulisan belum menjamin ia akan melakukannya dalam wujud kerja nyata. Namun setidaknya, kita bisa sedikit menakar apa yang ada dalam pikirannya serta kemampuannya menyampaikan kepada publik secara elegan. Lumayan, daripada hanya kalimat-kalimat selangit yang terpampang di baliho-baliho yang seringkali merusak pemandangan.
Dengan demikian, kita lebih bisa berharap wakil-wakil kita kelak memiliki wawasan yang luas, mempunyai kemampuan menganalisa kejadian berdasarkan data yang valid, tidak asal bicara tanpa didasari data yang benar.
Pengetahuan pemilih terhadap profil caleg akan menurunkan proporsi pemilih yang "membeli kucing dalam karung". Dan kita akan lebih bersyukur lagi jika hal itu bisa menekan angka pemilih yang golput.
Kampanye lewat jalur baliho memang memiliki jangkauan luas dengan upaya dan biaya yang relatif sedikit. Jadi, tidak heran jika cara ini paling banyak diikuti.
Pasti para caleg dan parpol juga sudah sangat memahami sebesar apa jumlah anggota masyarakat yang melek literasi. Barangkali hitung-hitungan potensi perolehan suara tidak akan banyak diperoleh dari kegiatan literasi.
Kini perlu dihitung lagi, porsi besar golput itu berada di kalangan yang mana. Siapa tahu kegiatan yang cocok bisa merangkul mereka.
Referensi:
"Profil Caleg Perlu Dibuka", Kompas, Senin, 4 Februari 2019
Ini Daftar Nama 49 Caleg Eks Napi Koruptor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H