Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Apakah Istri Anda Bekerja?

20 Januari 2019   06:53 Diperbarui: 21 April 2020   15:07 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.haibunda.com

"Apakah istri Anda bekerja?" Itulah salah satu pertanyaan yang acap kali saya terima dari rekan kerja atau kolega yang baru mengenal saya terkait dengan kegiatan istri saya. Saya pernah memberikan jawaban yang keliru dan menyesatkan atas pertanyaan itu.

Sebetulnya saya paham akan maksud dari pertanyaan itu. Rekan saya mengharap dua alternatif jawaban atas pertanyaan semacam itu, yakni ya atau tidak. Jawaban "ya" berarti istri saya bekerja kantoran atau profesi lain yang diakui masyarakat secara umum. Sementara jawaban "tidak" menandakan bahwa istri saya "hanya" seorang ibu rumah tangga.

Istri saya bukan seorang pegawai kantoran. Bukan pula profesional atau wirausaha. Bila saya harus menjawab pertanyaan kawan-kawan sesuai dengan asumsi mereka, tentu saya harus menyampaikan jawaban "tidak" atas pertanyaan yang mereka ajukan.

Saya pernah memberikan jawaban seperti itu atas pertanyaan mereka. Namun itu zaman dulu. Zaman ketika saya belum mendalami arti tanggung jawab dan pekerjaan seorang ibu rumah tangga. Masa ketika saya masih merasa bahwa kasta ibu rumah tangga berada pada anak tangga di bawah pekerja kantoran dan profesi keren lainnya. 

Era ketika saya beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan rumah tangga itu sepele saja. Pendek kata, saat saya masih berpendapat bahwa ibu rumah tangga bukanlan sebuah pekerjaan.

Kini tidak lagi. Setelah menyadari betapa "profesi" sebagai ibu rumah tangga itu sangat rumit dan menguras tenaga serta pikiran, saya tak ingin lagi menjawab "tidak" untuk pertanyaan "Apakah istri Anda bekerja?"

Peristiwa sederhana yang terjadi suatu pagi kembali menyadarkan saya. Masalahnya sangat sepele, hanya soal menghidupkan pompa air untuk mengisi bak mandi yang kosong. Ada tiga buah kran di tiga lokasi yang harus diputar dengan putaran yang berbeda-beda. 

Hal yang demikian enteng bagi istri saya itu ternyata sangat memusingkan kepala saya. Mengingat-ingat putaran tiga buah kran saja tak hafal-hafal.Kejadian-kejadian yang lalu pun cukup banyak yang menunjukkan vitalnya fungsi seorang ibu rumah tangga. Peran ini jauh lebih sulit digantikan daripada peran-peran lain, termasuk peran pegawai kantoran yang saya jalani selama ini.

Saya sering mengalami berada dalam kondisi terpaksa harus berperan mengurus rumah tangga. Misalnya saat istri sakit selama beberapa hari, atau sedang mengikuti majelis-majelis ilmu, baik ilmu agama, ilmu parenting maupun ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Atau untuk keperluan-keperluan lainnya yang tak bisa ditinggalkannya.

Kondisi itu akan menjadi salah satu bagian waktu terberat dalam hidup saya. Padahal saya hanya memerankan sebagian saja dari lakon keseluruhan seorang ibu rumah tangga. Sungguh tak terbayangkan bila saya harus melakoni seluruh episodenya.

Saya pun mengingat betul betapa rempong istri saya menjalani tugas-tugas hariannya selaku ibu rumah tangga. Terutama sekali ketika anak-anak kami masih dalam usia balita dan sekolah dasar.

Setelah sekian lama memanfaatkan jasa baby sitter atau asisten rumah tangga, beberapa tahun terakhir kami tidak menggunakannya lagi, kecuali hanya untuk urusan cuci, setrika dan kebersihan rumah. Kami menginginkan anak-anak yang lebih dekat kepada orangtua dibandingkan kepada orang lain.

Sumber gambar: tribunnews.com
Sumber gambar: tribunnews.com
Sudah Sibuk Sejak Pagi Buta

Seorang ibu rumah tangga harus bangun tidur paling awal dibandingkan anggota keluarga yang lain. Selepas salat Subuh, di saat yang lain masih bisa bersantai dengan caranya masing-masing, ia sudah harus sibuk ber-kelontang-kelonteng dengan perkakas masaknya di dapur.

Pada saat yang sama, sering kali pula ia harus teriak-teriak atau menggedor-gedor kamar anak-anaknya mengingatkan apakah mereka telah menyiapkan pakaian dan perlengkapan sekolah mereka.

Sembari mengaduk sayur atau menggoreng telur, mulut si ibu tak henti-hentinya membujuk anak-anak agar segera beranjak ke kamar mandi. Jadi harus maklum kalau sesekali warna telur dadar agak kehitaman dengan bau asap menyengat karena gosong.

Kelar urusan dapur belum berarti usai sudah tugasnya. Sarapan anak-anak bisa menjadi batu sandungan berikutnya. Ada saja kemungkinan anak-anak tidak berkenan dengan sarapan yang telah disiapkan ibu mereka. Maka, dibutuhkan kemampuan negosiasi tingkat tinggi untuk mengatasi problem yang satu ini.

Setelah mampu melewati tugas mengisi energi kami, persiapan anak sekolah menjadi tantangan berikutnya. Meskipun telah diingatkan berkali-kali, adakalanya anak tetap melupakan sesuatu yang seharusnya menjadi kewajibannya. Misalnya, pensil yang belum diraut, buku pelajaran yang terselip entah di mana, atau kaos kaki yang hilang sebelah.

Bahkan tak jarang anak baru ingat belum mengerjakan PR di pagi hari, beberapa saat menjelang berangkat sekolah. Kalau sudah begini, sang ibu akan semakin empot-empotan berkejaran dengan waktu sekolah yang semakin sempit.

Akhirnya usai sudah hiruk-pikuk ibu rumah tangga di pagi hari. Namun, hal itu tidak berarti ia sudah bisa bernafas lega. Sebab tugas selanjutnya tak kalah banyak dalam urusan lain yang tak kalah menguras emosi dan tenaga. Tugas itu adalah mengantar anak-anak ke sekolah.

Beberapa kali saya mendengar cerita istri saya kala itu. Ketika waktu sudah sangat pas-pasan untuk memburu jam masuk sekolah, eh masih juga ada yang ketinggalan, penggaris atau penghapus. Bahkan pernah pula sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah, salah seorang anak lupa memakai sepatu!

Itu baru sepenggal saja cerita ibu rumah tangga di pagi hari. Sementara itu, hari-hari sibuk yang harus dilaluinya adalah dari pagi hingga pagi lagi. Dan, "ritual" yang demikian akan dijalaninya tujuh hari dalam seminggu, selama hampir setahun penuh.

Jika seorang pegawai kantoran mempunyai hak untuk menjalani cuti selama beberapa hari dalam setahun, seorang ibu rumah tangga tidak pernah memiliki hak itu. Pekerjaan rumah tangga tak ada matinya. Dan bila seorang pegawai kantoran seperti saya memiliki substitusi, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan peran ibu rumah tangga sebaik dirinya.

Itu baru tugas-tugas yang masuk golongan "ringan". Tak jarang kondisi berat menghadangnya. Adakalanya, ia harus berhadapan dengan guru BK atau Kepala Sekolah kala ada anak yang bermasalah. Dan banyak lagi urusan yang memusingkan kepala.

Jadi, jika Anda bertanya kepada saya, "Apakah istri Anda bekerja?", maka saya akan menjawab, "Ya, ia bekerja. Pekerjaannya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan saya. Ia tidak mempunyai hak cuti seperti halnya saya. Dan atas semua yang dikerjakannya, ia tak pernah menerima gaji, bonus dan THR. Setiap hari bekerja jauh melebihi jam kerja kantoran, tapi tak sekalipun mendapat uang lembur."

Pilih Kerja Kantoran atau Mengurus Rumah Tangga?

Seandainya saya disodori dua pilihan, menjadi pegawai kantoran atau membereskan segala urusan rumah tangga, maka segera saja saya akan mengambil pilihan yang pertama. Tanpa perlu berpikir atau menimbang-nimbang. Karena selama bertahun-tahun saya telah menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, betapa berat tanggung jawab mengurus rumah tangga.

Tentu saja ini tidak berarti bahwa saya memandang bekerja kantoran atau pekerjaan profesional lainnya tidak penting. Saya hanya lebih menekankan pada keprihatinan saya bila masih ada orang yang mempunyai anggapan bahwa pekerjaan seorang ibu rumah tangga tidak penting, apalagi bila ada yang menyamakan ibu rumah tangga dengan orang yang tidak bekerja.

Jika ada seorang wanita yang mencari nafkah di perkantoran atau profesi lainnya dan masih sanggup menyelesaikan tugas-tugas kerumahtanggaan secara baik, barangkali saya harus mengangkat tinggi-tinggi seluruh empat jempol yang saya miliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun