"Apakah istri Anda bekerja?" Itulah salah satu pertanyaan yang acap kali saya terima dari rekan kerja atau kolega yang baru mengenal saya terkait dengan kegiatan istri saya. Saya pernah memberikan jawaban yang keliru dan menyesatkan atas pertanyaan itu.
Sebetulnya saya paham akan maksud dari pertanyaan itu. Rekan saya mengharap dua alternatif jawaban atas pertanyaan semacam itu, yakni ya atau tidak. Jawaban "ya" berarti istri saya bekerja kantoran atau profesi lain yang diakui masyarakat secara umum. Sementara jawaban "tidak" menandakan bahwa istri saya "hanya" seorang ibu rumah tangga.
Istri saya bukan seorang pegawai kantoran. Bukan pula profesional atau wirausaha. Bila saya harus menjawab pertanyaan kawan-kawan sesuai dengan asumsi mereka, tentu saya harus menyampaikan jawaban "tidak" atas pertanyaan yang mereka ajukan.
Saya pernah memberikan jawaban seperti itu atas pertanyaan mereka. Namun itu zaman dulu. Zaman ketika saya belum mendalami arti tanggung jawab dan pekerjaan seorang ibu rumah tangga. Masa ketika saya masih merasa bahwa kasta ibu rumah tangga berada pada anak tangga di bawah pekerja kantoran dan profesi keren lainnya.Â
Era ketika saya beranggapan bahwa kegiatan-kegiatan rumah tangga itu sepele saja. Pendek kata, saat saya masih berpendapat bahwa ibu rumah tangga bukanlan sebuah pekerjaan.
Kini tidak lagi. Setelah menyadari betapa "profesi" sebagai ibu rumah tangga itu sangat rumit dan menguras tenaga serta pikiran, saya tak ingin lagi menjawab "tidak" untuk pertanyaan "Apakah istri Anda bekerja?"
Peristiwa sederhana yang terjadi suatu pagi kembali menyadarkan saya. Masalahnya sangat sepele, hanya soal menghidupkan pompa air untuk mengisi bak mandi yang kosong. Ada tiga buah kran di tiga lokasi yang harus diputar dengan putaran yang berbeda-beda.Â
Hal yang demikian enteng bagi istri saya itu ternyata sangat memusingkan kepala saya. Mengingat-ingat putaran tiga buah kran saja tak hafal-hafal.Kejadian-kejadian yang lalu pun cukup banyak yang menunjukkan vitalnya fungsi seorang ibu rumah tangga. Peran ini jauh lebih sulit digantikan daripada peran-peran lain, termasuk peran pegawai kantoran yang saya jalani selama ini.
Saya sering mengalami berada dalam kondisi terpaksa harus berperan mengurus rumah tangga. Misalnya saat istri sakit selama beberapa hari, atau sedang mengikuti majelis-majelis ilmu, baik ilmu agama, ilmu parenting maupun ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Atau untuk keperluan-keperluan lainnya yang tak bisa ditinggalkannya.
Kondisi itu akan menjadi salah satu bagian waktu terberat dalam hidup saya. Padahal saya hanya memerankan sebagian saja dari lakon keseluruhan seorang ibu rumah tangga. Sungguh tak terbayangkan bila saya harus melakoni seluruh episodenya.
Saya pun mengingat betul betapa rempong istri saya menjalani tugas-tugas hariannya selaku ibu rumah tangga. Terutama sekali ketika anak-anak kami masih dalam usia balita dan sekolah dasar.